Oleh Abu Izzuddin Al Hazimi
FATWA ULAMA KHALAF YANG SEMASA DAN SESUDAH DITERAPKANNYA HUKUM ILYASIQ
1. SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH
Makna Thoghut menurut Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahhab adalah:
“Segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, diikuti dan ditaati dalam perkara‐perkara yang bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul‐Nya, sedang ia ridha dengan peribadatan tersebut”.
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab menjelaskan: “Thaghut itu sangat banyak, akan tetapi para pembesarnya ada lima, yaitu:
Mengomentari penjelasan Ibnu Katsir tentang hukum Ilyasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar saat menjajah kaum muslimin, beliau mengatakan:
Berikut adalah Fatwa Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh (Mufti Saudi sebelum Syaikh Bin Baz). Beliau membagi beberapa kelompok orang-orang yang berhukum dengan hukum selain syari'ah Allah, SEMUANYA KAFIR MURTAD.
Semua itu dilakukan dengan terecana, sistematis didukung dana yang besar, diterapkan dengan pengawasan penuh, dengan penanaman dan indoktrinasi kepada rakyatnya, yang pada akhirnya akan membuat umat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak, lalu menanamkan keragu-raguan dalam diri terhadap Syari’ah Allah dan mereka juga mewajibkan umat Islam untuk mematuhi hukum buatan mereka itu serta menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggarnya.
Berbagai bentuk lembaga hukum dan perundang-undangan ini dalam kurun waktu yang amat panjang telah dipersiapkan melalui perencanaan yang matang dan dengan pintu terbuka siap menangani berbagai masalah hukum umat Islam. Umat Islam pun berbondong-bondong mendatangi lembaga-lembaga ini, sedangkan para penegak hukumnya menetapkan hukum terhadap permasalahan mereka itu dengan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul Shollallohu 'alaihi wasallam dengan merujuk kepada hukum-hukum yang berasal dari aturan dan undang-undang yang mereka buat itu seraya mewajibkan rakyatnya untuk melaksanakan hukum-hukum itu, mematuhi keputusan mereka itu dan tidak memberi celah sedikit pun untuk memilih hukum selain undang-undang mereka itu.
KEKAFIRAN MANALAGI YANG LEBIH BESAR DIBANDINGKAN KEKUFURAN INI, PENENTANGAN TERHADAP PERSAKSIAN "WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLA"H MANALAGI YANG LEBIH BESAR YANG LBH BESAR DIBANDINGKAN PENENTANGAN INI ?
Sehingga bagi mereka yang menggunakan akalnya semestinya mereka menolak aturan hukum itu dengan penuh kesadaran dan ketundukan hati mengingat di dalam Undang-undang itu terdapat penghambaan kepada para penguasa pembuat undang-undang itu, serta hanya memperturutkan hawa nafsu, kepentingan duniawi dan kerancuan-kerancuan berpikir dan bertindak. Penolakan ini harus mereka lakukan atau mereka jatuh pada kekufuran.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
7. SYAIKH HAMUD BIN UQOLA TENTANG KEKAFIRAN PENGUASA DAN PEMBUAT UNDANG-UNDANG POSITIF
Fatwa Fadhilah Syaikh Hamud bin Abdullah Uqala Asy-Syua'ibi Hafizhahullah sebagai jawaban atas pertanyaan berikut:
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu.
“Pada masa sekarang ini, di dunia Islam, baik itu di Arab maupun selainnya telah banyak orang yang bersandar kepada hukum positif, sebagai pengganti dari hukum (syari'at) Allah, bagaimanakah hukum bagi para penguasa seperti itu ? Kami memohon jawaban-jawaban yang memuaskan dengan dalil-dalil syar'iyah dari Al Qur'an dan As sunnah dan pendapat-pendapat para ulama”.
Jawab:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas seutama-utama para Nabi dan Rasul, nabi kita Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, semuanya. Amien.
Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala, ketika mengutus nabi-Nya Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam, dengan membawa dien yang lurus ini, yang mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, padahal manusia di waktu itu berada dalam kegelapan berupa kejahilan dan kesesatan, mereka tenggelam dalam lautan Khurafat dan taqlid membabi buta, yang semua itu merupakan warisan dari nenek-moyang terdahulu, dalam seluruh urusan mereka, dalam masalah aqidah dan ibadah, dan keputusan dan mahkamah, maka semua itu didasarkan atas kesyirikan terhadap Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala. Mereka menjadikan pohon-pohon dan bebatuan, malaikat, jin dan manusia, serta yang lainnya sebagai tandingan selain Allah. Manusia di kala itu mendekatkan diri kepada apa yang telah disebutkan tadi dengan perbuatan yang perbuatan tersebut tidak patut dilakukan kepada selain Allah, misalnya penyembelihan, nadzar dan lainnya.
Adapun mengenai hukum-hukum dan ketetapan, maka tidak kurang kesesatan dan kerusakan mereka dari kesesatan dalam beribadah. Mereka mempercayakan urusan mereka kepada Thaghut-thagut, dukun-dukun dan tukang ramal. Mereka menjadikan semua itu sebagai tempat berwala’ sesama manusia, dalam seluruh masalah yang timbul di antara mereka, baik dalam masalah harta benda, darah, masalah keturunan (nasab) dan selainnya.
Mereka mengisi setiap aspek kehidupannya dengan hukum-hukum para thaghut itu. Jika suatu hukum telah ditetapkan, maka hukum itu tidak terbantahkan, berlaku mutlak, tidak berlaku kritik, tidak peduli apakah yang menetapkan itu jahat lagi zhalim. Ketika Allah mengutus Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam dengan membawa syari'at yang suci ini, maka syari'at tersebut menghapuskan adat kaum musyrikin, taqlid dan segala bentuk penetapan hukum. Jadilah ibadah hanya ditujukan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala semata-mata, hukum-hukum dan ketetapan dibatasi hanya kepada Syari'at Allah:
Firman Allah :
“Sesungguhnya hukum dan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah" menunjukkan pembatasan hukum hanya kepada syariat Allah,
dan firman-Nya:
“Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kepada selain Dia” menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'ala membatasi Ibadah yang dilakukan oleh manusia hanya kepada Allah saja, dengan sebaik-baik cara pembatasan, ini merupakan an-nafyu (peniadaan) dan Al-itsna (pengecualian), maksudnya: Dilarang beribadah, kecuali hanya kepada Allah.
Sesungguhnya mereka yang mempelajari Kitabullah, akan mendapati banyak ayat yang menunjukkan wajibnya berhukum kepada apa yang Allah turunkan, yang merupakan syari'at yang suci, kepada Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam
Firman Allah:
Ayat suci ini merupakan nash tentang kafirnya siapa saja yang berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya kepada selainnya.
Orang-orang bodoh dari kalangan murji’ah modern memalingkan pengertian ayat tentang kafirnya penguasa (hakim) yang menghukumi dengan hukum selain apa yang diturunkan oleh Allah ini, mereka mengatakan: Ayat ini diturunkan kepada Yahudi, hukum dalam ayat itu tidak mencakup diri kita.
Ini menunjukkan kejahilan mereka dengan kaidah usul, yang diletakkan oleh para ulama tafsir, ulama hadits dan ulama ushul fiqih, yaitu, bahwa "Al-Ibrah Bi-'Umuumil Lafzhi, Laa Bikhushuusis Sabab" atau pengambilan pelajaran/ibrah itu berdasarkan keumuman lafal, bukan berdasarkan sebab khusus turunnya ayat.
Jika suatu hukum telah turun dengan sebab tertentu, maka ayat itu tidak hanya terbatas terhadap sebab turunnya, bahkan ayat tersebut meliputi dan mencakup terhadap siapa saja yang termasuk dalam kata 'Barangsiapa'. Maka kata 'Barangsiapa' dalam ayat tersebut dalam sighah (bentuk) umum, sehingga hukumnya tidak terbatas pada sebab turunnya ayat berkenaan, kecuali jika ada keterangan lain dari syari'at yang menerangkan kekhususan ayat tersebut.
Misalnya dalam sabda Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam ketika salah seorang sahabat radhiyallaahu 'anhu bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku lebih suka berqurban dengan anak kambing betina daripada anak kambing jantan, bolehkah begitu wahai Rasulullah? Lalu beliau shollallohu 'alaihi wasallam menjawab: “Dibolehkan hanya untukmu, akan tetapi tidak boleh untuk seseorangpun setelah kamu."
Dan mereka (yaitu Murji’ah) berkata pula: "Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu 'Anhuma, bahwasanya ia ditanya tentang tafsir ayat: "Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir", lalu ibnu Abbas berkata: Kufrun Duuna Kufrin atau kekufuran yang lebih ringan dari kufur akbar, dan dalam riwayat lain: bukan kafir sebagaimana mereka maksudkan.
Jawaban untuk masalah ini ialah kami katakan bahwa: Hisyam bin Hujair, meriwayatkan atsar ini dari Thaawus dari Ibnu Abbas. Pembicaraan tentang ini terjadi sebelum adanya imam-imam hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma'in selain mereka berdua. Terdapat riwayat lain yang bertentangan dengan hadits dari Thawus ini, dimana riwayat tersebut lebih kuat, yang datang dari Abdullah bin Thawus. Ia (Abdullah bin Thawus) meriwayatkan dari ayahnya (dari Thawus) bahwa Ibnu Abbas, ketika ditanya tentang tafsir ini Ia menjawab: YANG DIMAKSUD ADALAH KAFIR (AKBAR)...!!!
Firman Allah:
Ayat ini menjelaskan tentang tidak adanya Iman terhadap siapa yang tidak menghukumi dengan syariat Allah, karena Allah bersumpah di dalamnya, bahwa seseorang tidak ada imannya sampai di dalam dirinya terdapat tiga sifat sebagai berikut:
Orang-orang bodoh itu tidak mengerti bahwa asal kalimat dalam bahasa Arab itu adalah arti yang sebenarnya, tidak dapat dipalingkan kepada pengertian Majaaz (kiasan), kecuali jika ada dalil lain yang wajib memalingkan dari pengertian asal yang jelas kepada pengertian yang lain. Maka dalam konteks ayat diatas, dalil apa, dan qariinah (dalil pembanding) apa yang mengharuskan memalingkan arti asal ini yang menyebutkan tiadanya Iman kepada tiadanya kesempurnaan Iman?
Firman Allah:
Ayat yang mulia ini menerangkan bahwa barangsiapa berhakim kepada Thaghut, atau menghukumi dengan hukum thaghut, maka telah hilang iman dari dirinya, dengan dalil firman Allah "Mereka menyangka beriman", artinya jika mereka masih terhitung sebagai orang-orang beriman, tentulah tidak disebutkan "mereka menyangka mereka beriman", ketika Allah menggambarkan mereka dengan kalimat "Mereka menyangka mereka beriman", berarti menunjukkan bahwa keimanan mereka terhadap Allah telah hilang dalam arti yang sebenarnya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala: "Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkafiri (mengingkari) nya. Dan syaitan hendak menyesatkan mereka dengan penyesatan yang jauh."
Ini pun merupakan dalil bahwa iman telah hilang dari diri mereka. Akan semakin jelas kafirnya orang yang berhukum kepada Thaghut, atau menghukumi dengan hukum thagut dengan memahami sebab turunnya ayat tersebut; para mufasirin menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu ketika terjadi sengketa antara Yahudi dan non Yahudi. Yahudi itu berkata: "Kita angkat masalah ini kepada Rasulullah" tapi yang bukan Yahudi itu malah berkata: "Kita adukan saja masalah ini kepada Ka'ab Al-Asyraf Al-Yahuudi", maka turunlah ayat ini.
Imam Asy Sya'bi berkata: "Terdapat sengketa antara seorang dari kalangan munafiqin dan seorang Yahudi, si Yahudi ini berkata; "Kita angkat masalah ini kepada Nabi Muhammad, karena dia tahu bahwa Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam tidak mungkin menerima risywah (suap), tapi si munafiqin malah berkata: "Kita berhukum saja kepada Yahudi, karena dia tahu bahwa Yahudi mau menerima suap, lalu mereka berdua sepakat untuk mendatangi seorang dukun di Juhainah, dan mereka berdua berhukum kepadanya, lalu turunlah ayat: "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menyangka.”
Atsar ini datang dari Imam Asy Sya'bi, jikalaupun di dalamnya terdapat kelemahan, akan tetapi terdapat beberapasyahid (hadits penguat) yang berbeda-beda yang memperkuat kedudukannya. Di antara kesaksian hadits yang menyebabkan turunnya ayat ini ialah bahwa Umar bin Khaththab Rodhiyallohu 'Anhu membunuh lelaki yang tidak ridha dengan keputusan Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam. Jikalah orang itu tidak murtad, tentu saja Umar bin Khaththab Rodhiyallohu 'Anhu tidak membunuhnya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Urwah bin Zubair Rodhiyallohu 'Anhuma , bahwa dia berkata: “Dua orang lelaki bersengketa dan mengangkat masalah mereka kepada Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam lalu beliau memenangkan perkara salah satu di antara mereka. Lelaki yang kalah dalam perkara itu berkata: "Kami adukan masalah ini kepada Umar r.a, lalu Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya. Berangkatlah kalian kepada Umar." keduanya lalu berangkat dan mendatangi Umar. Lelaki yang menang dalam perkara itu berkata: "Wahai Ibnul Khaththab; Sesungguhnya Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam memenangkan perkaraku, tapi dia ini (lawan perkaranya) berkata: “kita adukan saja masalah in kepada anda". Lalu Rasulullah mengembalikan perkara ini kepada anda, Umar lalu bertanya kepada lelaki yang kalah berperkara: "Apa betul demikian?" "Ya," jawab lelaki itu. Umar berkata: "Tetaplah kalian di tempat masing-masing, sampai aku kembali dan menetapkan urusan kalian berdua". Ia lalu keluar dengan membawa pedang terhunus, dan memenggal orang yang berkata: "Kita adukan saja kepada Umar".
Jalan cerita yang berbeda dalam kisah di atas tidak mempengaruhi kepastian hal tersebut, karena berbilangnya riwayat mengenai itu. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala:
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang menghalangi dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan berpaling daripadanya lalu berhukum dengan hukum selainnya, maka dia adalah Munafiq, DAN MUNAFIQ -DALAM KONTEKS INI- ADALAH KAFIR.
Sebagaimana orang yang berhukum kepada undang-undang positif adalah kafir, seperti telah disebutkan terdahulu, maka mereka yang membuat undang-undang dan menetapkan dengannya adalah termasuk kafir juga. Karena dengan pembuatan syari'at dan penetapan undang-undang untuk manusia, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam masalah pensyariatan.
Firman Allah:
Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat ini, ia berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka." Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam lalu menjawab: "Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kamupun ikut mengharamkannya, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan lalu kamu pun ikut menghalalkannya?" "Betul", jawab Adi bin Hatim, lalu Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Itulah bentuk penyembahan/peribadatan mereka". [3]
Teranglah dari ayat suci dan hadits tentang Adi bin Hatim, bahwa At-Tahlil (penghalalan) dan At-Tahrim (pengharaman) dan tasyri' (pensyariatan) adalah merupakan kekhususan bagi Allah s.w.t, maka barangsiapa menghalalkan atau mengharamkan atau mensyariatkan apa-apa yang menyalahi syari'at Allah, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah dalam kekhususannya.
Dari ayat-ayat terdahulu dan komentar kami tentangnya, jelaslah bahwa barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dan berpaling dari syari'at Allah dan hukum-Nya, maka dia kafir terhadap Allah yang Maha Agung, dia telah keluar dari Islam.
Demikian juga orang-orang yang semisal itu, yang membuat Undang-undang positif bagi manusia, karena sesungguhnya jika dia tidak ridha terhadapnya tentulah dia tidak akan berhukum dengannya. Banyak dari kalangan penguasa yang memiliki 'kepentingan' tertentu yang 'menomorsekiankan' hukum Allah dan berusaha merubah hukum,atau malah membuangnya.
Jika kita katakan bahwa mereka ,para penguasa itu ,tidak membuat hukum dan tidak membuat syari'at untuk bangsa mereka, lalu siapakah yang menetapkan kewajiban kepada rakyat supaya komitmen dengan hukum tersebut dan sekaligus mengenakan sanksi terhadap orang yang menyelisihinya?
INI TIDAK JAUH BERBEDA, PERSIS SEBAGAIMANA KEADAAN TARTAR, DI MANA IBNU TAIMIYAH DAN IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH RAHIMAHUMAALLAAHU MENUKIL IJMA' BAHWA MEREKA ADALAH KAFIR.
Bangsa Tartar tidak membuat dan menetapkan syari'at Ilyasiq, tetapi yang membuatnya adalah salah seorang dari penguasa mereka, yaitu Jengis Khan, maka keadaan penguasa hari ini, sama dengan keadaan penguasa di masa Tartar.
Karena itu, semakin jelas bahwa pelaksana hukum selain apa yang Allah turunkan menjadi kafir dengan sebab:
PERTAMA: SYAIKHUL ISLAM TAQIYUDDIN IBNU TAIMIYAH
Dalam komentarnya terhadap firman Allah:
Beliau berkata: “Allah Subhaanahu Wa Ta'ala telah menganggap tidak ada iman bagi siapa yang tidak berhukum kepada Nabi shollallohu 'alaihi wasallam dalam masalah yang timbul di antara mereka, ini suatu penafian mu’akkad (tegas) dengan mengulangi aadatun nafiy dengan sumpah”.
Demikian yang dikatakan olehnya rahimahullah, dalam ta'liqnya mengenai ayat ini.
Saya sendiri menghadiri halaqahnya, rahimahullah, selama bertahun-tahun. Saya mendengarnya berkali-kali, lebih dari sekali, ia sangat menekankan benar masalah ini, beliau menjelaskan tentang kafirnya siapa yang berhukum kepada selain syariat Allah, sebagaimana ia jelaskan dalam risalah Tahkiimul Qawaaniin .
KELIMA: SYAIKH KAMI, SYAIKH ABDUL AZIN BIN BAZ RAHIMAHULLAH,
Dalam risalahnya : Naqadah Al Qaumiyah Al Arabiyah hal 39 menyebutkan tentang siapa yang menjadikan hukum yang menyelisihi Al-Qur'an, maka ini adalah kerusakan yang besar, dan merupakan kekafiran yang nyata, murtad secara terang-terangan, sebagaimana firman Allah (artinya) :
"Maka demi Rabb mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An Nisa’ [4] : 65)
Dan firman Allah:
Apa yang telah saya sebutkan dari nash-nash dan pendapat para ulama, cukup kiranya untuk menjelaskan bahwa melaksanakan hukum positif adalah kafir. Dan menetapkan uu positif sebagai hukum adalah kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Sekiranya saya nukil lagi pendapat-pendapat para ulama ummat ini dan imam-imamnya dalam bab ini, niscaya akan panjang lagi pembicaraannya. Semoga jawaban ini mencukupi bagi penanya. Dan shalawat ata nabi kita Muhammad dan keluarganya, dan sahabatnya semua. [4]
8. SYAIKH AL ALLAMAH IMAM MUHAMMAD AL AMIN ASY SYANGGITI –RAHIMAHULLAH- , SYAIKH NYA PARA MASYAYIKH DAN MUFTI KERAJAAN SAUDI :
FATWA ULAMA KHALAF YANG SEMASA DAN SESUDAH DITERAPKANNYA HUKUM ILYASIQ
1. SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH
«والإنسان متى حلَّل الحرام المجمع عليه وحرَّم الحلال المجمعُ عليه أو بدَّل الشرع المجمعُ عليه كان كافراً مرتداً باتّفاق الفقهاء»
“Siapa orang, manakala ia telah menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal yang mana para ulam telah sepakat atasnya atau merubah syari’ah yang telah disepakati ulama’ maka orang ini telah kafir murtad berdasarkan kesepakatan para ulama.”
«ولا ريب أنّ من لم يعتقد وجوب الحكم بما أنزل الله على رسوله r فهو كافر، فمن استحلّ أن يحكم بين الناس بما يراه هو عدلاً من غير اتّباعٍ لما أنزل الله فهو كافر »
“Tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang tidak meyakini wajibnya menerapkan syari’ah Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya shollallohu 'alaihi wasallam maka ia telah kafir. Dan barangsiapa yang menetapkan hukum untuk umat manusia tanpa mengikuti syari’ah yang diturunkan Allah dan menurut pandangannya bahwa hukum buatannya itu adalah hukum yang adil maka ia telah kafir murtad.” (Minhajus Sunnah juz 3 hal 22)2. SYAIKHUL ISLAM IBNUL QOYYIM AL JAUZIYYAH
«أن الحكم بغير ما أنزل الله يتناول الكفرين الأكبر والأصغر، بحسب حالة الحاكم، فإنه إن اعتقد وجوب الحكم بما أنزل الله في الواقعة مستحق للعقوبة فهذا كفر أصغر، وإن اعتقد أنه غير واجب وأنه مخيرٌ فيه مع يقينه أنه حكم الله فهذا كفر أكبر
“Bahwasanya penguasa yang menetapkan hukum dengan selain syari’ah Allah dapat menyebabkan pelakunya jatuh ke dalam dua macam kekafiran; Kafir ashghor (kecil) dan kafir akbar (besar/murtad) tergantung kondisi si penentu hukum (penguasa) tersebut. Jika ia meyakini wajibnya menentukan hukum dengan syari’ah Allah dalam sebuah peristiwa yang seharusnya mendapatkan sanksi hudud (tetapi ia lebih memilih menggunakan hukum selain syari’ah Allah) maka ia terkena kufur asghor, akan tetapi jika ia berkeyakinan bahwa ia tidak wajib menentukan hukum dengan syari’ah Allah dan meyakini bahwa ia boleh memilih hukum lain padahal ia mengetahui bahwa dalam masalah tersebut sudah ada ketetapam dalam syari’ah Allah, maka ia telah melakukan kekafiran yang besar (kufur akbar).” (Madarijus Salikin juz 1 hal 336)3. IMAM IBNU KATSIR
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah [5] : 50)Dalam Kitab Al Bidayah Wan Nihayah beliau menambahkan:
Dalam menjelaskan ayat ini Ibnu Katsir mengatakan:
“Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingkari dan murka kepada orang-orang yang yang berpaling dari Syari’ah-Nya yang di dalamnya terkandung semua bentuk kebajikan dan melarang segala kemungkaran, lalu lebih memilih untuk menetapkan hukum berdasarkan pendapat, hawa nafsu dan berbagai macam teori yang diciptakan oleh manusia dengan tanpa bersandar pada Syari’ah-Nya. Sebagaimana dilakukan oleh kaum jahiliyyah dahulu dan juga dilakukan oleh bangsa Tartar yang menerapkan undang-undang Ilyasiq yang merupakan kumpulan dari bermacam-macam bentuk aturan hukum, seperti hukum Yahudi, Nasrani dan sebagainya. Sebagian lagi diambil dari hukum Islam tetapi tidak sedikit pula yang hanya berdasarkan pendapat dan hawa nafsu pemimpinnya (Jengis Khan). Undang-undang Ilyasiq ini kemudian ditetapkan menjadi hukum dan undang-undang yang wajib dipatuhi melebihi Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam”. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 Hal 70)
“Maka barangsiapa melakukan hal serupa —menetapkan undang-undang seperti ini dalam sebuah tatanan masyarakat— ia telah kafir dan wajib diperangi sampai ia kembali kepada syari’ah Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia tidak lagi menetapkan hukum dengan yang lainnya, baik sedikit ataupun banyak". (Al Bidayah Wan Nihayah Juz 13 Hal 119)4. SYAIKHUL ISLAM MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Makna Thoghut menurut Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahhab adalah:
“Segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, diikuti dan ditaati dalam perkara‐perkara yang bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul‐Nya, sedang ia ridha dengan peribadatan tersebut”.
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab menjelaskan: “Thaghut itu sangat banyak, akan tetapi para pembesarnya ada lima, yaitu:
- Setan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah.
- Penguasa dzalim yang merubah hukum‐hukum Allah.
- Orang‐orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
- Sesuatu selain Allah yang mengaku mengetahui ilmu ghaib.
- Sesuatu selain Allah yang diibadahi dan dia ridha dengan peribadatan tersebut.
Mengomentari penjelasan Ibnu Katsir tentang hukum Ilyasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar saat menjajah kaum muslimin, beliau mengatakan:
"Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al-Hafidz Ibnu Katsir pada abad ke-8 H terhadap undang-undang positif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad 144 H? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi, yakni hukum Ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya.6. AL ALLAMAH SYAIKH MUHAMMAD BIN IBRAHIM ALU SYAIKH (BEKAS MUFTI KERAJAAN SAUDI SEBELUM SYAIKH BIN BAZ)
Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka, karena kebanyakamw umat islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariat islam ini; sebuah hukum yang paling menyerupai al-yasiq yang telah ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya. Sesungguhnya, urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong yaitu kufur yang nyata (Kufrun Bawwah), tidak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. tidak ada udzur bagi siapapun yang mengakat dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. maka berhati-hatilah, setiap orang menjadi pengawas atas dirinya sendiri.” (Umdatut Tafsir 3/124)
Berikut adalah Fatwa Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh (Mufti Saudi sebelum Syaikh Bin Baz). Beliau membagi beberapa kelompok orang-orang yang berhukum dengan hukum selain syari'ah Allah, SEMUANYA KAFIR MURTAD.
أن يجحد الحاكمُ بغير ما أنزل الله تعالى أحقيَّةَ حُكمِ الله تعالى وحكم رسوله
Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain syari'ah Allah dan ia juhud (menentang) akan kewajiban menerapkan syari'ah itu maka ia telah KAFIR MURTAD.أن لا يجحد الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى كونَ حكم الله ورسوله حقاً، لكن اعتقد أن حكمَ غير الرسول أحسنُ من حكمه وأتم وأشمل
Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain syari'ah Allah dan ia tidak juhud (tidak menentang) akan kewajiban menerapkan syari'ah itu, TETAPI IA BERKEYAKINAN BAHWA HUKUM BUATAN MANUSIA LEBIH BAIK, LEBIH TEPAT, RELEVAN DAN LEBIH SEMPURNA DIBANDING SYARI'AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.أن لا يعتقد كونَه أحسنَ من حكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد أنه مثله
Jika ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari'ah Allah lebih baik TETAPI MENYATAKAN BAHWA HUKUM BUATAN MANUSIA SAMA BAIKNYA DENGAN SYARI'AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.أن لا يعتقد كونَ حُكمِ الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى مماثلاً لحكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد جواز الحُكم بما يُخالف حُكمَ الله تعالى ورسوله
Ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari'ah Allah sama atau lebih baik dibanding hukum buatan manusia, TETAPI IA BERKEYAKINAN BAHWA DIBOLEHKAN MENERAPKAN UNDANG-UNDANG SELAIN SYARI'AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.وهو أعظمها وأشملها وأظهرها معاندة للشرع، ومكابرة لأحكامه، ومشاقة لله تعالى ولرسوله ومضاهاة بالمحاكم الشرعية، إعداداً وإمداداً وإرصاداً وتأصيلاً وتفريعاً وتشكيلاً وتنويعاً وحكماً وإلزاماً... فهذه المحاكم في كثير من أمصار الإسلام مهيّأة مكملة، مفتوحةُ الأبواب، والناسُ إليها أسرابٌ إثر أسراب، يحكم حكّامها بينهم بما يخالف حُكم السنة والكتاب، من أحكام ذلك القانون، وتلزمهم به وتقرّهم عليه، وتُحتِّمُهُ عليهم، فأيُّ كُفرٍ فوق هذا الكفر، وأي مناقضة للشهادة بأن محمداً رسولُ الله بعد هذه المناقضة.... فيجب على العقلاء أن يربأوا بنفوسهم عنه لما فيه من الاستعباد لهم، والتحكم فيهم بالأهواء والأغراض، والأغلاط، والأخطاء، فضلاً عن كونه كفراً بنص قوله تعالى: ( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )
Ini adalah yang paling jelas-jelas kekafirannya, paling nyata penentangannya terhadap Syari’ah Allah, paling besar kesombongannya terhadap hukum Allah dan paling keras penentangan dan penolakannya terhadap lembaga-lembaga (mahkamah) hukum Syari’ah.Semua itu dilakukan dengan terecana, sistematis didukung dana yang besar, diterapkan dengan pengawasan penuh, dengan penanaman dan indoktrinasi kepada rakyatnya, yang pada akhirnya akan membuat umat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak, lalu menanamkan keragu-raguan dalam diri terhadap Syari’ah Allah dan mereka juga mewajibkan umat Islam untuk mematuhi hukum buatan mereka itu serta menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggarnya.
Berbagai bentuk lembaga hukum dan perundang-undangan ini dalam kurun waktu yang amat panjang telah dipersiapkan melalui perencanaan yang matang dan dengan pintu terbuka siap menangani berbagai masalah hukum umat Islam. Umat Islam pun berbondong-bondong mendatangi lembaga-lembaga ini, sedangkan para penegak hukumnya menetapkan hukum terhadap permasalahan mereka itu dengan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul Shollallohu 'alaihi wasallam dengan merujuk kepada hukum-hukum yang berasal dari aturan dan undang-undang yang mereka buat itu seraya mewajibkan rakyatnya untuk melaksanakan hukum-hukum itu, mematuhi keputusan mereka itu dan tidak memberi celah sedikit pun untuk memilih hukum selain undang-undang mereka itu.
KEKAFIRAN MANALAGI YANG LEBIH BESAR DIBANDINGKAN KEKUFURAN INI, PENENTANGAN TERHADAP PERSAKSIAN "WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLA"H MANALAGI YANG LEBIH BESAR YANG LBH BESAR DIBANDINGKAN PENENTANGAN INI ?
Sehingga bagi mereka yang menggunakan akalnya semestinya mereka menolak aturan hukum itu dengan penuh kesadaran dan ketundukan hati mengingat di dalam Undang-undang itu terdapat penghambaan kepada para penguasa pembuat undang-undang itu, serta hanya memperturutkan hawa nafsu, kepentingan duniawi dan kerancuan-kerancuan berpikir dan bertindak. Penolakan ini harus mereka lakukan atau mereka jatuh pada kekufuran.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ [المائدة/44]
“Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5] : 44)ما يحكم به كثيرٌ من رؤساء العشائر والقبائل من البوادي ونحوهم، من حكايات آبائهم وأجدادهم وعاداتهم التي يسمونها "سلومهم" يتوارثون ذلك منهم، ويحكمون به ويحضون على التحاكم إليه عند النزاع، بقاءً على أحكام الجاهلية، وإعراضاً ورغبةً عن حكم الله تعالى ورسوله r فلا حول ولا قوة إلاّ بالله تعالى
Aturan hukum yang biasa diterapkan oleh sebagian besar kepala suku dan kabilah pada masyakat dan suku-suku pedalaman atau yang semisal dengan itu. Yang berupa hukum peninggalan nenek moyang mereka dan adat istiadat yang diterapkan secara turun temurun, yang dalam istilah Arab biasa disebut: “Tanyakan kepada nenek moyang”. Mereka mewariska hukum adat ini kepada anak cucu mereka sekaligus mewajibkan mereka untuk mematuhi hukum adat itu serta menjadikannya sebagai rjukan dan pedoman saat terjadi perselisihan di antara mereka. Ini semua mereka lakukan sebagai upaya melestarikan adat istiadan dan aturan aturan jahiliyyah dengan disertai ketidaksukaan dan keengganan untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya Shollallohu 'alaihi wasallam. Maka sungguh tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali hanya dengan bersandar kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (Tahkiem Al Qawaaniin karangan Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh hal 14-20 Terbitan Daar Al Muslim)7. SYAIKH HAMUD BIN UQOLA TENTANG KEKAFIRAN PENGUASA DAN PEMBUAT UNDANG-UNDANG POSITIF
Fatwa Fadhilah Syaikh Hamud bin Abdullah Uqala Asy-Syua'ibi Hafizhahullah sebagai jawaban atas pertanyaan berikut:
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu.
“Pada masa sekarang ini, di dunia Islam, baik itu di Arab maupun selainnya telah banyak orang yang bersandar kepada hukum positif, sebagai pengganti dari hukum (syari'at) Allah, bagaimanakah hukum bagi para penguasa seperti itu ? Kami memohon jawaban-jawaban yang memuaskan dengan dalil-dalil syar'iyah dari Al Qur'an dan As sunnah dan pendapat-pendapat para ulama”.
Jawab:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas seutama-utama para Nabi dan Rasul, nabi kita Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, semuanya. Amien.
Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala, ketika mengutus nabi-Nya Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam, dengan membawa dien yang lurus ini, yang mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, padahal manusia di waktu itu berada dalam kegelapan berupa kejahilan dan kesesatan, mereka tenggelam dalam lautan Khurafat dan taqlid membabi buta, yang semua itu merupakan warisan dari nenek-moyang terdahulu, dalam seluruh urusan mereka, dalam masalah aqidah dan ibadah, dan keputusan dan mahkamah, maka semua itu didasarkan atas kesyirikan terhadap Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala. Mereka menjadikan pohon-pohon dan bebatuan, malaikat, jin dan manusia, serta yang lainnya sebagai tandingan selain Allah. Manusia di kala itu mendekatkan diri kepada apa yang telah disebutkan tadi dengan perbuatan yang perbuatan tersebut tidak patut dilakukan kepada selain Allah, misalnya penyembelihan, nadzar dan lainnya.
Adapun mengenai hukum-hukum dan ketetapan, maka tidak kurang kesesatan dan kerusakan mereka dari kesesatan dalam beribadah. Mereka mempercayakan urusan mereka kepada Thaghut-thagut, dukun-dukun dan tukang ramal. Mereka menjadikan semua itu sebagai tempat berwala’ sesama manusia, dalam seluruh masalah yang timbul di antara mereka, baik dalam masalah harta benda, darah, masalah keturunan (nasab) dan selainnya.
Mereka mengisi setiap aspek kehidupannya dengan hukum-hukum para thaghut itu. Jika suatu hukum telah ditetapkan, maka hukum itu tidak terbantahkan, berlaku mutlak, tidak berlaku kritik, tidak peduli apakah yang menetapkan itu jahat lagi zhalim. Ketika Allah mengutus Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam dengan membawa syari'at yang suci ini, maka syari'at tersebut menghapuskan adat kaum musyrikin, taqlid dan segala bentuk penetapan hukum. Jadilah ibadah hanya ditujukan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala semata-mata, hukum-hukum dan ketetapan dibatasi hanya kepada Syari'at Allah:
Firman Allah :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya hukum dan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kepada selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf [12] : 41)“Sesungguhnya hukum dan keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah" menunjukkan pembatasan hukum hanya kepada syariat Allah,
dan firman-Nya:
“Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kepada selain Dia” menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta'ala membatasi Ibadah yang dilakukan oleh manusia hanya kepada Allah saja, dengan sebaik-baik cara pembatasan, ini merupakan an-nafyu (peniadaan) dan Al-itsna (pengecualian), maksudnya: Dilarang beribadah, kecuali hanya kepada Allah.
Sesungguhnya mereka yang mempelajari Kitabullah, akan mendapati banyak ayat yang menunjukkan wajibnya berhukum kepada apa yang Allah turunkan, yang merupakan syari'at yang suci, kepada Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam
Firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".(QS. Al Maidah [5] : 44)Ayat suci ini merupakan nash tentang kafirnya siapa saja yang berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya kepada selainnya.
Orang-orang bodoh dari kalangan murji’ah modern memalingkan pengertian ayat tentang kafirnya penguasa (hakim) yang menghukumi dengan hukum selain apa yang diturunkan oleh Allah ini, mereka mengatakan: Ayat ini diturunkan kepada Yahudi, hukum dalam ayat itu tidak mencakup diri kita.
Ini menunjukkan kejahilan mereka dengan kaidah usul, yang diletakkan oleh para ulama tafsir, ulama hadits dan ulama ushul fiqih, yaitu, bahwa "Al-Ibrah Bi-'Umuumil Lafzhi, Laa Bikhushuusis Sabab" atau pengambilan pelajaran/ibrah itu berdasarkan keumuman lafal, bukan berdasarkan sebab khusus turunnya ayat.
Jika suatu hukum telah turun dengan sebab tertentu, maka ayat itu tidak hanya terbatas terhadap sebab turunnya, bahkan ayat tersebut meliputi dan mencakup terhadap siapa saja yang termasuk dalam kata 'Barangsiapa'. Maka kata 'Barangsiapa' dalam ayat tersebut dalam sighah (bentuk) umum, sehingga hukumnya tidak terbatas pada sebab turunnya ayat berkenaan, kecuali jika ada keterangan lain dari syari'at yang menerangkan kekhususan ayat tersebut.
Misalnya dalam sabda Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam ketika salah seorang sahabat radhiyallaahu 'anhu bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku lebih suka berqurban dengan anak kambing betina daripada anak kambing jantan, bolehkah begitu wahai Rasulullah? Lalu beliau shollallohu 'alaihi wasallam menjawab: “Dibolehkan hanya untukmu, akan tetapi tidak boleh untuk seseorangpun setelah kamu."
Dan mereka (yaitu Murji’ah) berkata pula: "Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu 'Anhuma, bahwasanya ia ditanya tentang tafsir ayat: "Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir", lalu ibnu Abbas berkata: Kufrun Duuna Kufrin atau kekufuran yang lebih ringan dari kufur akbar, dan dalam riwayat lain: bukan kafir sebagaimana mereka maksudkan.
Jawaban untuk masalah ini ialah kami katakan bahwa: Hisyam bin Hujair, meriwayatkan atsar ini dari Thaawus dari Ibnu Abbas. Pembicaraan tentang ini terjadi sebelum adanya imam-imam hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma'in selain mereka berdua. Terdapat riwayat lain yang bertentangan dengan hadits dari Thawus ini, dimana riwayat tersebut lebih kuat, yang datang dari Abdullah bin Thawus. Ia (Abdullah bin Thawus) meriwayatkan dari ayahnya (dari Thawus) bahwa Ibnu Abbas, ketika ditanya tentang tafsir ini Ia menjawab: YANG DIMAKSUD ADALAH KAFIR (AKBAR)...!!!
Firman Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb mu, tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus hukum terhadap masalah yang ada di antara mereka, kemudian tidak terdapat dalam hati mereka keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka berserah diri sepenuh-penuh penyerahan”. (QS. An Nisa [4] : 65)Ayat ini menjelaskan tentang tidak adanya Iman terhadap siapa yang tidak menghukumi dengan syariat Allah, karena Allah bersumpah di dalamnya, bahwa seseorang tidak ada imannya sampai di dalam dirinya terdapat tiga sifat sebagai berikut:
- Berhukum kepada syari'at Allah.
- Tidak terdapat rasa berat dalam dirinya dalam hal tersebut, bahkan ia ridha dengan hukum Allah.
- Ia berserah diri sepenuhnya kepada hukum Allah dan ridha dengannya.
Orang-orang bodoh itu tidak mengerti bahwa asal kalimat dalam bahasa Arab itu adalah arti yang sebenarnya, tidak dapat dipalingkan kepada pengertian Majaaz (kiasan), kecuali jika ada dalil lain yang wajib memalingkan dari pengertian asal yang jelas kepada pengertian yang lain. Maka dalam konteks ayat diatas, dalil apa, dan qariinah (dalil pembanding) apa yang mengharuskan memalingkan arti asal ini yang menyebutkan tiadanya Iman kepada tiadanya kesempurnaan Iman?
Firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا * وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang menyangka bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut. Syaitan hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan jika dikatakan kepada mereka marilah berhukum kepada apa yang Allah turunkan dan kepada Rasulullah, maka kalian lihat orang-orang munafiq itu menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu". (QS. An Nisa [4] : 60-61)Ayat yang mulia ini menerangkan bahwa barangsiapa berhakim kepada Thaghut, atau menghukumi dengan hukum thaghut, maka telah hilang iman dari dirinya, dengan dalil firman Allah "Mereka menyangka beriman", artinya jika mereka masih terhitung sebagai orang-orang beriman, tentulah tidak disebutkan "mereka menyangka mereka beriman", ketika Allah menggambarkan mereka dengan kalimat "Mereka menyangka mereka beriman", berarti menunjukkan bahwa keimanan mereka terhadap Allah telah hilang dalam arti yang sebenarnya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala: "Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkafiri (mengingkari) nya. Dan syaitan hendak menyesatkan mereka dengan penyesatan yang jauh."
Ini pun merupakan dalil bahwa iman telah hilang dari diri mereka. Akan semakin jelas kafirnya orang yang berhukum kepada Thaghut, atau menghukumi dengan hukum thagut dengan memahami sebab turunnya ayat tersebut; para mufasirin menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu ketika terjadi sengketa antara Yahudi dan non Yahudi. Yahudi itu berkata: "Kita angkat masalah ini kepada Rasulullah" tapi yang bukan Yahudi itu malah berkata: "Kita adukan saja masalah ini kepada Ka'ab Al-Asyraf Al-Yahuudi", maka turunlah ayat ini.
Imam Asy Sya'bi berkata: "Terdapat sengketa antara seorang dari kalangan munafiqin dan seorang Yahudi, si Yahudi ini berkata; "Kita angkat masalah ini kepada Nabi Muhammad, karena dia tahu bahwa Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam tidak mungkin menerima risywah (suap), tapi si munafiqin malah berkata: "Kita berhukum saja kepada Yahudi, karena dia tahu bahwa Yahudi mau menerima suap, lalu mereka berdua sepakat untuk mendatangi seorang dukun di Juhainah, dan mereka berdua berhukum kepadanya, lalu turunlah ayat: "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menyangka.”
Atsar ini datang dari Imam Asy Sya'bi, jikalaupun di dalamnya terdapat kelemahan, akan tetapi terdapat beberapasyahid (hadits penguat) yang berbeda-beda yang memperkuat kedudukannya. Di antara kesaksian hadits yang menyebabkan turunnya ayat ini ialah bahwa Umar bin Khaththab Rodhiyallohu 'Anhu membunuh lelaki yang tidak ridha dengan keputusan Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam. Jikalah orang itu tidak murtad, tentu saja Umar bin Khaththab Rodhiyallohu 'Anhu tidak membunuhnya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Urwah bin Zubair Rodhiyallohu 'Anhuma , bahwa dia berkata: “Dua orang lelaki bersengketa dan mengangkat masalah mereka kepada Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam lalu beliau memenangkan perkara salah satu di antara mereka. Lelaki yang kalah dalam perkara itu berkata: "Kami adukan masalah ini kepada Umar r.a, lalu Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya. Berangkatlah kalian kepada Umar." keduanya lalu berangkat dan mendatangi Umar. Lelaki yang menang dalam perkara itu berkata: "Wahai Ibnul Khaththab; Sesungguhnya Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam memenangkan perkaraku, tapi dia ini (lawan perkaranya) berkata: “kita adukan saja masalah in kepada anda". Lalu Rasulullah mengembalikan perkara ini kepada anda, Umar lalu bertanya kepada lelaki yang kalah berperkara: "Apa betul demikian?" "Ya," jawab lelaki itu. Umar berkata: "Tetaplah kalian di tempat masing-masing, sampai aku kembali dan menetapkan urusan kalian berdua". Ia lalu keluar dengan membawa pedang terhunus, dan memenggal orang yang berkata: "Kita adukan saja kepada Umar".
Jalan cerita yang berbeda dalam kisah di atas tidak mempengaruhi kepastian hal tersebut, karena berbilangnya riwayat mengenai itu. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah kepada apa yang Allah turunkan dan kepada Rasul', kalian akan lihat orang-orang Munafiq itu menghalangi manusia dengan sekuat-kuat halangan dari padamu".(QS. An Nisa’ [4] : 61)Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang menghalangi dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan berpaling daripadanya lalu berhukum dengan hukum selainnya, maka dia adalah Munafiq, DAN MUNAFIQ -DALAM KONTEKS INI- ADALAH KAFIR.
Sebagaimana orang yang berhukum kepada undang-undang positif adalah kafir, seperti telah disebutkan terdahulu, maka mereka yang membuat undang-undang dan menetapkan dengannya adalah termasuk kafir juga. Karena dengan pembuatan syari'at dan penetapan undang-undang untuk manusia, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam masalah pensyariatan.
Firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki tandingan-tandingan yang membuat undang-undang buat mereka dalam masalah dien (agama) dengan apa yang tidak mendapat izin dari Allah?”. (QS. Asy Syura [42] 21)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ
"Dan tidaklah ia patut memiliki satupun sekutu dalam masalah hukum". (QS. Al Isra’ [17] : 111)اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
"Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah." (QS. At Taubah [9] : 31)Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat ini, ia berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka." Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam lalu menjawab: "Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kamupun ikut mengharamkannya, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan lalu kamu pun ikut menghalalkannya?" "Betul", jawab Adi bin Hatim, lalu Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Itulah bentuk penyembahan/peribadatan mereka". [3]
Teranglah dari ayat suci dan hadits tentang Adi bin Hatim, bahwa At-Tahlil (penghalalan) dan At-Tahrim (pengharaman) dan tasyri' (pensyariatan) adalah merupakan kekhususan bagi Allah s.w.t, maka barangsiapa menghalalkan atau mengharamkan atau mensyariatkan apa-apa yang menyalahi syari'at Allah, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah dalam kekhususannya.
Dari ayat-ayat terdahulu dan komentar kami tentangnya, jelaslah bahwa barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dan berpaling dari syari'at Allah dan hukum-Nya, maka dia kafir terhadap Allah yang Maha Agung, dia telah keluar dari Islam.
Demikian juga orang-orang yang semisal itu, yang membuat Undang-undang positif bagi manusia, karena sesungguhnya jika dia tidak ridha terhadapnya tentulah dia tidak akan berhukum dengannya. Banyak dari kalangan penguasa yang memiliki 'kepentingan' tertentu yang 'menomorsekiankan' hukum Allah dan berusaha merubah hukum,atau malah membuangnya.
Jika kita katakan bahwa mereka ,para penguasa itu ,tidak membuat hukum dan tidak membuat syari'at untuk bangsa mereka, lalu siapakah yang menetapkan kewajiban kepada rakyat supaya komitmen dengan hukum tersebut dan sekaligus mengenakan sanksi terhadap orang yang menyelisihinya?
INI TIDAK JAUH BERBEDA, PERSIS SEBAGAIMANA KEADAAN TARTAR, DI MANA IBNU TAIMIYAH DAN IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH RAHIMAHUMAALLAAHU MENUKIL IJMA' BAHWA MEREKA ADALAH KAFIR.
Bangsa Tartar tidak membuat dan menetapkan syari'at Ilyasiq, tetapi yang membuatnya adalah salah seorang dari penguasa mereka, yaitu Jengis Khan, maka keadaan penguasa hari ini, sama dengan keadaan penguasa di masa Tartar.
Karena itu, semakin jelas bahwa pelaksana hukum selain apa yang Allah turunkan menjadi kafir dengan sebab:
- Sebab pertama, dari sisi tasyri' (pensyariatan), jika dia membuat syari'at.
- Kedua, dari segi hukum, jika dia berhukum.
PERTAMA: SYAIKHUL ISLAM TAQIYUDDIN IBNU TAIMIYAH
“Ketika seseorang menghalalkan apa yang menurut Ijma adalah haram, dan sebaliknya mengharamkan apa yang menurut ijma adalah halal, atau mengganti syari'at yang telah ijma' akan kebenarannya, maka orang tersebut telah kafir berdasarkan kesepakatan para fuqaha (ahli fiqih)”.(Majmu’atul Fatawa juz 3 hal 267)Beliau berkata pula:
“Ketika seorang alim meninggalkan apa yang telah diketahuinya dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya dan mengikuti hukum penguasa yang menyalahi hukum Allah dan rasul-Nya, maka ketika itulah dia murtad dan kafir, ia layak dihukum di dunia dan akhirat”. (Majmu’atul Fatawa juz 35 hal 372)KEDUA: IMAM IBNU KATSIR :
“Barangsiapa meninggalkan syariat yang telah mantap yang diturunkan kepada nabi Muhammad, penutup para nabi, alaihis Sholaatu was Salaam, dan berhukum kepada selainnya, yaitu syari'at yang telah terhapus (hukum kafir), maka dia kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada hukum Ilyasiq dan lebih mendahulukannya daripada hukum Islam? Barangsiapa melakukan hal tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan Ijma' kaum Muslimin”. (Al Bidayah wan Nihayah 13/119)KETIGA: SYAIKH KAMI, SYAIKH MUHAMMAD AL AMIN ASY SYANQITHI RAHIMAHULLAH,
Setelah beliau menyebut nash-nash yang menunjukkan kafirnya orang-orang yang menghukumi dengan hukum buatan manusia (hukum positif):KEEMPAT: SYAIKH KAMI, MUHAMMAD BIN IBRAHIM AALU SYAIKH
“Dengan nash-nash samawiyah (yang diturunkan dari langit, Al Qur'an) yang telah kita sebutkan, akan nampak sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang telah disyariatkan oleh Syaitan di atas lidah-lidah wali-wali syaitan, yang semua itu menyelisihi apa yang telah disyariatkan oleh Allah Jalla Wa Alaa' di atas lisan Rasul-Nya Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka tidak diragukan lagi tentang kekafiran dan kesyirikan mereka, (hal ini dapat diketahui oleh semua orang) kecuali bagi orang yang telah Allah tutup dan butakan penglihatannya dari melihat cahaya wahyu”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan juz 4 hal 83 – 84)
Dalam komentarnya terhadap firman Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabb mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An Nisa’ [4] : 65)Beliau berkata: “Allah Subhaanahu Wa Ta'ala telah menganggap tidak ada iman bagi siapa yang tidak berhukum kepada Nabi shollallohu 'alaihi wasallam dalam masalah yang timbul di antara mereka, ini suatu penafian mu’akkad (tegas) dengan mengulangi aadatun nafiy dengan sumpah”.
Demikian yang dikatakan olehnya rahimahullah, dalam ta'liqnya mengenai ayat ini.
Saya sendiri menghadiri halaqahnya, rahimahullah, selama bertahun-tahun. Saya mendengarnya berkali-kali, lebih dari sekali, ia sangat menekankan benar masalah ini, beliau menjelaskan tentang kafirnya siapa yang berhukum kepada selain syariat Allah, sebagaimana ia jelaskan dalam risalah Tahkiimul Qawaaniin .
KELIMA: SYAIKH KAMI, SYAIKH ABDUL AZIN BIN BAZ RAHIMAHULLAH,
Dalam risalahnya : Naqadah Al Qaumiyah Al Arabiyah hal 39 menyebutkan tentang siapa yang menjadikan hukum yang menyelisihi Al-Qur'an, maka ini adalah kerusakan yang besar, dan merupakan kekafiran yang nyata, murtad secara terang-terangan, sebagaimana firman Allah (artinya) :
"Maka demi Rabb mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An Nisa’ [4] : 65)
Dan firman Allah:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Ma’idah [5] : 50)وقال تعالى: أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
وقال تعالى: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
وقال تعالى: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
وقال تعالى: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
وكل دولة لا تحكم بشرع الله، ولا تنصاع لحكم الله، ولا ترضاه فهي دولة جاهلية كافرة، ظالمة فاسقة بنص هذه الآيات المحكمات، يجب على أهل الإسلام بغضها ومعاداتها في الله، وتحرم عليهم مودتها وموالاتها حتى تؤمن بالله وحده، وتحكم شريعته، وترضى بذلك لها وعليها،
Sampai kepada kata-kata: “...dan setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan tidak menyerahkan urusan kepada hukum Allah, maka negara tersebut adalah negara Jahiliyah, kafir, zhalim fasiq sesuai dengan nash ayat muhkamat (tegas) ini, wajib bagi orang Islam untuk membencinya dan memusuhinya karena Allah, dan haram bagi kaum Muslimin memberikan wala’ (lebih luas dari sekedar loyalitas) dan menyukainya, sampai negeri itu beriman kepada Allah Yang Maha Esa, dan berhukum dengan syariat-Nya”. Selesai.Apa yang telah saya sebutkan dari nash-nash dan pendapat para ulama, cukup kiranya untuk menjelaskan bahwa melaksanakan hukum positif adalah kafir. Dan menetapkan uu positif sebagai hukum adalah kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Sekiranya saya nukil lagi pendapat-pendapat para ulama ummat ini dan imam-imamnya dalam bab ini, niscaya akan panjang lagi pembicaraannya. Semoga jawaban ini mencukupi bagi penanya. Dan shalawat ata nabi kita Muhammad dan keluarganya, dan sahabatnya semua. [4]
8. SYAIKH AL ALLAMAH IMAM MUHAMMAD AL AMIN ASY SYANGGITI –RAHIMAHULLAH- , SYAIKH NYA PARA MASYAYIKH DAN MUFTI KERAJAAN SAUDI :
وبهذه النصوص السماوية التي ذكرنا يظهر غاية الظهور أن الذين يتّبعون القوانين الوضعية التي شرعها الشيطان على لسان أوليائه مخالفة لما شرعه الله جل وعلا على ألسنة رسله [عليهم الصلاة والسلام] أنه لا يشك في كفرهم وشركهم إلاّ من طمس الله بصيرته وأعماه عن نور الوحي... فتحكيم هذا النظام في أنفس المجتمع وأموالهم وأعراضهم وأنسابهم وعقولهم وأديانهم، كفر بخالق السموات والأرض وتمرّد على نظام السماء الذي وضعه من خلق الخلائق كلها وهو أعلم بمصالحها سبحانه
“Berdasar nash-nash yang diwahyukan Allah dari langit yg telah kami sebutkan di atas, telah nyata senyata-nyatanya bahwasanya orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang disyari’atkan oleh setan melalui mulut para pengikutnya yang bertentangan dengan syari’ah Allah Azza Wa Jalla yang diturunkan melalui lisan para Rasul-Nya –alaihimus sholaatu wat tasliem- bahwa sesungguhnya tidak diragukan lagi tentang telah kafir dan syirik nya orang-orang itu, kecuali bagi orang yang mata hatinya telah tertutup dan buta dari cahaya wahyu Allah.9. ASY SYAHID -KAMAA NAHSABUH- SYAIKH ABDULLAH AZZAM
Maka penerapan undang-undang ini dalam mengatur urusan jiwa, harta, kehormatan keturunan (nasab), akal dan agama suatu masyarakat adalah kekufuran terhadap Allah Sang Pencipta langit dan bumi dan pengkhianatan terhadap nizham (undang-undang/syari’ah) dari langit yang berasal dari Pencipta seluruh makhluk, dan Dia lah Yang Maha Mengetahui mashlahah bagi seluruh makhluk-Nya”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan juz 4 hal 83-84)
«الذين يشرّعون بغير ما أنزل الله كفارٌ وإن صلّوا وصاموا وأقاموا الشعائر الدينية، والقانونُ الذي يحكم في الأعراض والدماء والأموال هو الذي يُحدد هوية الحاكم من حيث الكفر والإيمان...».
“...orang-orang yang menetapkan hukum dengan hukum yang selain Syari’ah Allah adalah orang-orang KAFIR WALAUPUN MEREKA SHOLAT DAN MENEGAKKAN SYI’AR-SYI’AR ISLAM. Undang-undang yang diterapkan untuk dijadikan landasan hukum dalam mengadili permasalahan keturunan, darah dan harta inilah yang menjadi pembatas orientasi hakim (pembuat dan penentu hukum) dipandang dari sudut kekufuran dan keimanan.” (Mafhum Al Hakimiyyah Fi Fikri Asy Syahid Abdullah Azzam hal 3)
«فطاعة التشريع البشري الوضعي مع الرضا القلبي بها شرك يُخرج صاحبه من الملة».
“...Ketaatan kepada undang-undang dan aturan hukum buatan manusia dengan disertai keridhoan di dalam hati adalah syirik yang mengeluarkan pelakunya dari Islam” (Mafhum Al Hakimiyyah Fi Fikri Asy Syahid Abdullah Azzam hal 4)
«فالعبادة إذن قوانين وشرائع وتحريم وتحليل فإن كانت هذه القوانين والشرائع من عند الله فالعبودية لله وإن كانت هذه القوانين من عند البشر فالعبودية تقع للبشر ولو صام الناس وصلوا وقاموا بالشعائر الدينية الأخرى، فهي واضحة جدّ الوضوح وقضية حاسمة لا لَبَس فيها ولا غموض ولا لعثمة، وقد اتفق الفقهاء جميعاً على «أن من أحل الحرام فقد كفر ومن حرم الحلال فقد كفر» وليست القوانين الوضعية إلاّ التحليل والتحريم والإباحة والمنع».
“Dengan demikian ibadah sejatinya adalah penetapan hukum dan syari’ah, pengharaman dan penghalalan, sehingga jika undang-undang dan aturan hukum ini hanya milik Allah maka itu artinya ibadah ini hanya untuk Allah, dan jika undang-undang dan aturan hukum ini hanya mengikuti keinginan manusia, maka ibadahnya pun hanya untuk manusia meskipun ia berpuasa dan dan menegakkan syi’ar-syi’ar Islam yang lainnya. Hal ini sudah amat sangat jelas dan merupakan masalah yang sudah tidak ada perdebatan, keraguan ataupun kesimpangsiuran lagi. Para ulama pun telah sepakat bahwa : “Barangsiapa yang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang telah dihalalkan Allah ia telah kafir”. Dan sesungguhnya Undang-undang buatan manusia tidak lain hanyalah berisi penghalalan, pengharaman dan pembolehan dan pelarangan.” (Mafhum Al Hakimiyyah Fi Fikri Asy Syahid Abdullah Azzam hal 10)
«ولا يُشرّع أحدٌ قانوناً من القوانين الوضعية ويستبدلها بشرع الله وقانونه إلاّ ويمرّ في ذهنه أن هذا القانون أفضل من قانون الله لهذه المرحلة، وهذا كفرٌ بَوَاحٌ لا يشك في ذلك أحد من أهل هذه الملة، ليس هناك أي فرق بين من يقول إنّ صلاة الفجر ثلاث ركعات وبين من يقول إن حكم القاتل سجن سنة، وليس هناك فرق بين من يقول إن عقوبة الزاني سجن ستة أشهر وبين من يقول إن صيام رمضان محرّم على الناس...».
“Tidaklah seseorang merancang sebuah aturan hukum (undang-undang) kemudian menerapkannya dan mengganti aturan (syari’ah) Allah dengan undang-undang tersebut kecuali ia meyakini dalam hati dan pikirannya bahwa aturannya itu lebih baik dan lebih utama disbanding Syari’ah Allah. Dan ini merupakan kekufuran yang nyata (kufr bawwah) yang tidak ada satupun ulama yang ragu-ragu tentang hal ini. Tidak ada perbedaan sedikit pun antara orang yang mengatakan bahwa sholat Shubuh (berubah menjadi) tiga raka’at dengan orang yang mengatakan sesungguhnya hukuman yang pantas (benar) bagi seorang pembunuh adalah penjara sekian tahun. Tidak ada perbedaan antara mereka yang mengatakan bahwa hukuman bagi pezina adalah penjara 6 bulan (misalnya) dengan mereka yang mengatakan bahwa puasa Ramadhan hukumnya haram bagi manusia...”. (Mafhum Al Hakimiyyah Fi Fikri Asy Syahid Abdullah Azzam hal 14-15)Catatan Kaki:
- Terdapat banyak hadits yang menjelaskan tentang pembicaraan Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam dengan Ady bin Hatim ini, di antara adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani
« أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ »“Mereka tidak menyembah para pendeta itu, tetapi jika para pendeta itu menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, para pengikutnya ikut pula menghalalkan dan jika para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, para pengikutnya ikut pula mengharamkan” (HR. Tirmidzi, dinyatakan Hasan oleh Syaikh Al Albani)
- Didiktekan oleh Syaikh Hamud Bin Uqala Asy-Syu'aibi. 10/2/1422 H
(eramuslim)