Di saat Taksin Perdana Menteri Thailand mau membentuk sebuah dinasti dengan memonopoli berbagai kekayaan dan khazanah negara, rakyat bangkit menumbangkan rejim yang bobrok dengan alasan nasionalisme untuk menyelamatkan masa depan bangsa –yang juga masa depan anak cucu mereka juga- dari kehancuran yang dibuat oleh sang rejim.
Di saat berlaku ketidakadilan dan ketidakjujuran dalam pemilu, ratusan ribu rakyat Malaysia turun ke jalan menuntut pemilu yang adil dalam gerakan bersih yang sudah dua kali mereka lakukan. Di saat berlaku penyimpangan uang rakyat pembayar pajak yang dikelola oleh pemerintah maka berlakulah gerakan internet melalui blog, Facebook, Twitter dan sebagainya menyuarakan ketidakadilan dan penyimpangan yang berlaku. Hasilnya gerakan itu mempengaruhi hasil pemilu dengan jatuhnya beberapa buah negara bagian pada partai oposisi.
Di Malaysia, walaupun diberi bendera gratis oleh pemerintah pada hari kemerdekaan, -rata-rata- mereka tidak mau menerimanya atau memakainya. Bagi mereka menaikkan bendera dan menghormati simbol-simbol bukanlah bagian dari nasionalisme sejati dan hakiki.
Di Jepang, Perdana Menterinya mengundurkan diri karena dinilai gagal dalam menangani Nuklir yang disebabkan oleh Tsunami yang sebenarnya di luar kemampuan manusia mengatasinya. Kecelakaan pesawat, kereta api, data kecelakaan alat transportasi yang meningkat akan membuat pejabat mereka angkat tangan lalu mengundurkan diri untuk kemudian diserahkan kepada yang lebih layak untuk mengemban amanah itu.
Semua contoh di atas adalah gerakan nasionalisme yang waras, cerdas dan bijaksana karena menyangkut masa depan anak cucu mereka dimana nenek moyang mereka telah ada di bumi itu sebelum lahirnya sebuah negara yang merdeka.
Nasionalisme Indonesia
Di Indonesia, kita di ajar dari SD sampai perguruan tinggi tentang nasionalisme hanya sebatas simbol tanpa makna, kulit tanpa isi, bentuk yang tidak memiliki makna filosofis.
Nasionalisme kita dibuktikan dengan menghormati bendera sang saka merah putih, menghormati patung burung Garuda –yang ternyata juga menjadi lambang beberapa negara seperti Thailand dll-, kesaktian Pancasila. Patung-patung pahlawan negara gentayangan di mana-mana yang memadatkan pembangunan kota dan merusak pemandangan.
Penghormatan simbol dan patung-patung yang dilakukan secara berkala terutama oleh instansi pemerintah, walaupun secara berkala juga mereka menghianati negara dengan berbagai macam perangai korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan kuasa lainnya.
Isu nasionalisme sengaja dibangkitkan untuk pengalihan isu atas kegagalan pemerintah yang setiap bulannya menerima gaji dari uang rakyat untuk mengurus negara. Walaupun pemerintah secara terorganisir dan rapi mencuri uang rakyat melalui KKN dan penyalahgunaan kuasa lainnya.
Isu nasionalisme sengaja dipancing untuk pencitraan atas kegagalan pemerintah yang membangun negara. Walaupun pada hakikatnya pembangunan itu hanya beberapa persen saja yang dialokasikan –selebihnya masuk kantong-. Yang pasti pembangunan itu juga tidaklah menggunakan uang pribadi dari hart dan gaji presiden atau pejabat lainnya –tetapi menggunakan uang rakyat-.
Isu nasionalisme sengaja dibangkitkan untuk tujuan pembohongan atas data-data palsu, dan program-program fiktif yang berkali-kali ditegur oleh orang-orang cerdas di negara ini.
Orang Indonesia –rata-rata- akan marah kalau simbol negaranya seperti bendera, burung Garuda, Pancasila direndahkan apalagi dihina. Akan tetapi mereka –rata-rata- tidak marah apabila uang mereka di rampok oleh pemerintah, pembangunan infrastruktur mereka disunat, APBN/APBD mereka dipotong atas nama KKN dan perampokan lainnya.
Padahal KKN dan penyalahgunaan kuasa lainnya jauh lebih berbahaya terhadap masa depan bangsa dan negara daripada sekedar simbol-simbol yang tidak bernyawa dan pasti tidak sakti itu.
Orang Indonesia –rata-rata- tidak marah disaat berlaku pencurian uang rakyat dalam kasus Century, BLBI, rekening gendut polisi, kasus Gayus, Mafia pajak, pembangunan Wisma Atlet dan jutaan kasus yang belum atau tidak terungkap lainnya. Walaupun nilai uang itu cukup untuk membangun jalan tol antar pulau yang akan melancarkan aliran orang dan barang yang berarti pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Cukup untuk membangun rumah sakit yang berkualitas di berbagai daerah yang tidak perlu lagi orang berobat ke luar negeri. Bisa membangun intitusi pendidikan yangberkualitas dan berbagai infrastruktur lainnya.
Nasionalisme orang Indonesia tidak terganggu saat perusahaan milik asing menjamur, di saat hasil kekayaan negara diangkut ke luar negeri seperti Amerika seperti tambang emas oleh Freepot, tambang minyak oleh Exon Mobil, batu bara, gas, dll -walaupun hanya meninggalkan sedikit abu, asap dan polusi pada daerah dan rusaknya lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan rakyat. Mereka tidak marah walaupun semua hasil kekayaan alam itu mampu menghidupi seluruh rakyat Indonesia tanpa perlu miskin, tidak berpendidikan, lemah infrastruktur seperti sekarang.
Orang Islam liberal mempromosikan menginjak al-Qur`an sebagai sesuatu yang tidak salah. Tapi mereka sangat marah –mau berperang- kalau gambar atau patung burung garuda, kain bendera merah putih diinjak, diludahi, dikencingi dan sebagainya.
Afriadi Sanusi
Penulis Berasal dari Sumatera, PhD Student Islamic Political Science, University Malaya Kuala Lumpur
(suara-islam.com)
Di saat berlaku ketidakadilan dan ketidakjujuran dalam pemilu, ratusan ribu rakyat Malaysia turun ke jalan menuntut pemilu yang adil dalam gerakan bersih yang sudah dua kali mereka lakukan. Di saat berlaku penyimpangan uang rakyat pembayar pajak yang dikelola oleh pemerintah maka berlakulah gerakan internet melalui blog, Facebook, Twitter dan sebagainya menyuarakan ketidakadilan dan penyimpangan yang berlaku. Hasilnya gerakan itu mempengaruhi hasil pemilu dengan jatuhnya beberapa buah negara bagian pada partai oposisi.
Di Malaysia, walaupun diberi bendera gratis oleh pemerintah pada hari kemerdekaan, -rata-rata- mereka tidak mau menerimanya atau memakainya. Bagi mereka menaikkan bendera dan menghormati simbol-simbol bukanlah bagian dari nasionalisme sejati dan hakiki.
Di Jepang, Perdana Menterinya mengundurkan diri karena dinilai gagal dalam menangani Nuklir yang disebabkan oleh Tsunami yang sebenarnya di luar kemampuan manusia mengatasinya. Kecelakaan pesawat, kereta api, data kecelakaan alat transportasi yang meningkat akan membuat pejabat mereka angkat tangan lalu mengundurkan diri untuk kemudian diserahkan kepada yang lebih layak untuk mengemban amanah itu.
Semua contoh di atas adalah gerakan nasionalisme yang waras, cerdas dan bijaksana karena menyangkut masa depan anak cucu mereka dimana nenek moyang mereka telah ada di bumi itu sebelum lahirnya sebuah negara yang merdeka.
Nasionalisme Indonesia
Di Indonesia, kita di ajar dari SD sampai perguruan tinggi tentang nasionalisme hanya sebatas simbol tanpa makna, kulit tanpa isi, bentuk yang tidak memiliki makna filosofis.
Nasionalisme kita dibuktikan dengan menghormati bendera sang saka merah putih, menghormati patung burung Garuda –yang ternyata juga menjadi lambang beberapa negara seperti Thailand dll-, kesaktian Pancasila. Patung-patung pahlawan negara gentayangan di mana-mana yang memadatkan pembangunan kota dan merusak pemandangan.
Penghormatan simbol dan patung-patung yang dilakukan secara berkala terutama oleh instansi pemerintah, walaupun secara berkala juga mereka menghianati negara dengan berbagai macam perangai korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan kuasa lainnya.
Isu nasionalisme sengaja dibangkitkan untuk pengalihan isu atas kegagalan pemerintah yang setiap bulannya menerima gaji dari uang rakyat untuk mengurus negara. Walaupun pemerintah secara terorganisir dan rapi mencuri uang rakyat melalui KKN dan penyalahgunaan kuasa lainnya.
Isu nasionalisme sengaja dipancing untuk pencitraan atas kegagalan pemerintah yang membangun negara. Walaupun pada hakikatnya pembangunan itu hanya beberapa persen saja yang dialokasikan –selebihnya masuk kantong-. Yang pasti pembangunan itu juga tidaklah menggunakan uang pribadi dari hart dan gaji presiden atau pejabat lainnya –tetapi menggunakan uang rakyat-.
Isu nasionalisme sengaja dibangkitkan untuk tujuan pembohongan atas data-data palsu, dan program-program fiktif yang berkali-kali ditegur oleh orang-orang cerdas di negara ini.
Orang Indonesia –rata-rata- akan marah kalau simbol negaranya seperti bendera, burung Garuda, Pancasila direndahkan apalagi dihina. Akan tetapi mereka –rata-rata- tidak marah apabila uang mereka di rampok oleh pemerintah, pembangunan infrastruktur mereka disunat, APBN/APBD mereka dipotong atas nama KKN dan perampokan lainnya.
Padahal KKN dan penyalahgunaan kuasa lainnya jauh lebih berbahaya terhadap masa depan bangsa dan negara daripada sekedar simbol-simbol yang tidak bernyawa dan pasti tidak sakti itu.
Orang Indonesia –rata-rata- tidak marah disaat berlaku pencurian uang rakyat dalam kasus Century, BLBI, rekening gendut polisi, kasus Gayus, Mafia pajak, pembangunan Wisma Atlet dan jutaan kasus yang belum atau tidak terungkap lainnya. Walaupun nilai uang itu cukup untuk membangun jalan tol antar pulau yang akan melancarkan aliran orang dan barang yang berarti pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Cukup untuk membangun rumah sakit yang berkualitas di berbagai daerah yang tidak perlu lagi orang berobat ke luar negeri. Bisa membangun intitusi pendidikan yangberkualitas dan berbagai infrastruktur lainnya.
Nasionalisme orang Indonesia tidak terganggu saat perusahaan milik asing menjamur, di saat hasil kekayaan negara diangkut ke luar negeri seperti Amerika seperti tambang emas oleh Freepot, tambang minyak oleh Exon Mobil, batu bara, gas, dll -walaupun hanya meninggalkan sedikit abu, asap dan polusi pada daerah dan rusaknya lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan rakyat. Mereka tidak marah walaupun semua hasil kekayaan alam itu mampu menghidupi seluruh rakyat Indonesia tanpa perlu miskin, tidak berpendidikan, lemah infrastruktur seperti sekarang.
Orang Islam liberal mempromosikan menginjak al-Qur`an sebagai sesuatu yang tidak salah. Tapi mereka sangat marah –mau berperang- kalau gambar atau patung burung garuda, kain bendera merah putih diinjak, diludahi, dikencingi dan sebagainya.
Afriadi Sanusi
Penulis Berasal dari Sumatera, PhD Student Islamic Political Science, University Malaya Kuala Lumpur
(suara-islam.com)