Foto: dok.detikFinance |
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar dalam keterangannya yang dikutip, Sabtu (10/9/2011).
"Bulog sangat lambat menyerap beras petani, namun sangat gesit dalam impor beras. Jika hanya mampu mengimpor, apa bedanya Bulog dengan importir atau pedagang biasa?" kata Rofi.
Rencana impor Bulog ini menambah deretan angka importasi beras yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh Bulog pada akhir Juli 2011 sebesar 500 ribu ton yang didatangkan dari Vietnam.
Rofi memandang Bulog terlalu sering melakukan importasi beras, sedangkan tolok ukur perhitungan yang digunakan untuk mengimpor seringkali tidak sesuai dengan BPS atau Kementerian Pertanian.
Menurut Rofi kebijakan impor ini tidak konsisten dengan Instruksi Presiden mengenai surplus 10 juta ton beras hingga tahun 2015. Kebijakan ini seharusnya dapat dijalankan dengan baik, dengan cadangan beras yang mengandalkan kemampuan domestik. Sebagai catatan dalam RAPBN tahun 2012 direncanakan alokasi anggaran untuk ketahanan pangan total mencapai Rp 41,9 triliun.
"Rasanya hampir sepanjang tahun Bulog melakukan impor beras, bahkan di masa panen raya. Kesalahan Bulog adalah memahami fungsi stabilisator sebatas fungsi impor" jelas Rofi.
Dia menekankan Bulog perlu menyadari kondisi kebijakan pemerintah Thailand saat ini. Negara pengekspor beras terbesar di dunia ini membentuk komite pelaksana program pemerintah untuk membeli hasil panen petani di atas rata-rata harga pasar.
Berdasarkan data Thai Rice Mills Association, pemerintah Thailand berencana membayar 15.000 baht per ton untuk beras wangi atau 40% di atas harga pasar. Pembelian ini diproyeksi mendorong reli kenaikan harga internasional, di mana konsumsi beras dunia 87% berada di kawasan Asia.
"Seharusnya Bulog dapat belajar banyak dari kebijakan Thailand tersebut. Kenyatannya justru sangat jauh dari harapan," tukas Rofi.(detik.com)