-->

Bisnis Pisau Unik Makin Menarik, Omzet Bikin Bergidik

UNIK. Mungkin kata itu bisa menggambarkan usaha yang dirintis Henky Aryanto serta  Dimas Satrio Pamungkas.

Membuka surat dengan pisau surat kini memang sudah tak lazim. Tapi pisau surat tetap jadi bisnis yang menggiurkan. Sebab fungsinya sudah bergeser menjadi benda antik yang layak dikoleksi. Harganya bisa jutaan rupiah. Seorang seniman di Bali meraup fulus hingga Rp 40 juta per bulan dari usaha pembuatan pisau surat.

Dulu, sebagian orang membuka surat dengan pisau surat agar tidak merusak amplopnya. Sekarang, kebiasaan ini mulai ditinggalkan. Orang cukup menyobek amplopnya saja demi alasan kepraktisan. Sehingga, menggeser fungsi pisau surat dari barang pakai menjadi benda koleksi. Harganya pun menjadi lebih mahal.

Harga pisau surat yang terbuat dari emas atau perak bisa mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta, dengan panjang 20 hingga 24 cm dan berat 40 sampai 52 gram.

I Ketut Sumadi, pemilik Bara Silver, pembuat kerajinan logam di Bali, menuturkan, motif-motif etnik khas Pulau Dewata yang terukir di tubuh pisau surat juga menjadikan harga benda ini mahal. Apalagi, proses pembuatannya terbilang rumit sehingga memakan waktu 1 hingga 2 minggu. "Paling rumit adalah bagian proses mengukir dari pisau tersebut," ujarnya.

Ukiran ini membuat pisau surat terlihat seperti barang mewah dan antik. Misalnya, ukiran bernuansa etnik dengan motif garis. Ada juga yang bergambar binatang. Tapi, "Ukiran bisa disesuaikan dengan keinginan pemesan," tutur Ketut yang memulai usaha kerajinan pisau surat di Sukawati, Gianyar tahun 1980.

Tak hanya sebagai barang koleksi, pisau surat buatan Ketut juga banyak dipesan untuk suvenir yang ditujukan kepada tamu-tamu istimewa.

Ia kerap mendapat pesanan dari Istana Kepresidenan untuk tamu-tamu kehormatan dari luar negeri sebanyak 20 hingga 40 pisau surat. "Jika hanya dipajang di galeri dan di beberapa pameran saja, tentu tidak akan banyak terjual," ungkap dia.

Pelanggan tetap Ketut lainnya adalah para kepala daerah setempat. Dalam sebulan, ia mampu meraih omzet hingga Rp 40 juta hanya dari pisau surat.

Henky Aryanto, pemilik Barang Tempoe Doeloe di Bandung, yang khusus menjual barang-barang antik, menuturkan, harga pisau surat bisa melambung karena sisi keantikannya. Untuk mendapatkan benda ini, ia rajin menyambangi rumah-rumah tua yang sedang dieksekusi pemerintah daerah.

Saat barang-barang seisi rumah dilelang, ia ikut serta. Mayoritas pisau antik yang didapatnya buatan 1920 dari sebuah pabrik di Jerman bernama Aug. Wellner Sohne A.G. Memang pabrik ini terkenal memproduksi pisau surat.

Henky membeli pisau surat dengan panjang 24 cm dan berat 25 gram berbahan perak dengan harga hanya Rp 100.000. Ia kemudian menjualnya seharga Rp 400.000. Meskipun hanya melego melalui internet, permintaannya sangat tinggi. "Peminatnya dari kolektor barang antik untuk dijadikan koleksi," ujarnya.

Namun, karena keterbatasan stok, tidak semua pesanan bisa dipenuhi. Maklum, dalam sebulan ia hanya mampu mendapatkan tiga pisau surat antik saja.

Selain Henky Aryanto, ada pula pengusaha yang sukses berkat keunikan sebuah pisau. Dimas Satrio Pamungkas, pria 24 tahun ini lebih memilih untuk menjadi pembuat pisau, ketika banyak anak muda memilih jenis usaha yang populer.

Ketertarikan Dimas pada pisau bermula saat menjalani kerja praktik sebagai salah satu syarat kelulusan dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung. Dimas menjalani kerja praktik di salah satu perusahaan pisau ternama di Indonesia yakni PT Kardin Pisau Indonesia.

"Waktu itu tugas saya mendapat proyek untuk membuat pisau hias dengan image Gatot Kaca. Tak disangka, pisau pertama buatan saya "Gatot Kaca series" mendapat perhatian dari banyak orang, mulai dari dosen hingga kolektor," ujarnya.

Setelah kerja praktik, Dimas juga harus menyelesaikan tugas akhir. Pria yang mengambil jurusan desain produk ini lalu membuat pisau yang agak berbeda dari sebelumnya, yakni pisau tebas yang mengedepankan aspek desain seperti fungsi, teknologi, ergonomi, hingga aspek keamanan penggunaan pisau yang dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Dalam proses pembuatan pisau tersebut, Dimas mendapatkan banyak masukan dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung, Wanadri.

"Dari situlah saya melakukan observasi untuk mengetahui seperti apa pisau yang dibutuhkan oleh para pecinta alam, misalnya untuk merintis jalan di hutan. Selanjutnya, saya mendapat bantuan dari salah seorang rekan untuk menganalisis shocking impact pada setiap alternatif desain yang saya buat. Pisau yang saya desain, central shooking impact diposisikan pada bilah pisau (bukan handle), sehingga dapat mengurangi tingkat kelelahan pengguna dan dapat menaikkan produktivitas kerja" papar Dimas.

Awal 2009, tak lama setelah lulus kuliah, Dimas mendapat uang jajan terakhir dari orang tuanya sebesar Rp1 juta. Tanpa pikir panjang, Dimas menggunakan uang tersebut sebagai modal awal untuk mendirikan usahanya, Javasmith Indonesia Blacksmith.

Dari modal awal itu, Dimas membuat tiga pisau dan kemudian dijual melalui Forum Pisau Indonesia di situs Kaskus, dengan kisaran harga Rp300 ribu–Rp700 ribu. Dalam waktu dua minggu, semua pisau itu terjual.

Dari situ, kreativitas Dimas terus terasah dan katalognya semakin terisi dengan desain pisau hasil coretan tangannya. Saat ini Dimas menjual pisaunya dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp350.000 hingga Rp1,8 jutaan. Untuk proses produksi satu pisau, biasanya memakan waktu kurang lebih satu bulan.

"Pisau Gatot Kaca saya pernah ditawar Rp5 juta oleh seorang kolektor, tapi saya enggak kasih karena itu karya pertama saya," ungkapnya.

Berbicara mengenai produktivitas, keberhasilan Dimas tidak lepas dari bantuan tim produksi. Seiring waktu, Dimas kini punya tim produksi yang terdiri atas empat orang pengrajin di Soreang, Bandung. Untuk lokasi pembuatan pisau, Dimas menggunakan bengkel kecil dan sederhana milik salah seorang tim produksi. "Awalnya, kami buat pisau di dapur rumah," ujar Dimas sambil tertawa.

Setelah berjalan beberapa bulan, Dimas mulai menawarkan desain produknya ke jasa keamanan swasta, yakni PT Garda Utama Security Services.

"Awalnya saya tawarkan jasa men-develop desain atribut security tersebut dan mereka approve. Saya desain satu set. Waktu itu dibayar Rp2,5 juta. Setelah itu, mereka meminta saya untuk membuat pisau yang bentuknya menyerupai senjata api sebanyak 100 buah. Dari situ, saya mendapatkan uang sebesar Rp9 juta," ceritanya.

Nahas, ketika usahanya menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, Dimas ditipu klien sehingga modalnya habis. "Saat itu, yang saya miliki tinggal katalog desain pisau," lirihnya.

Toh, peristiwa itu tidak menyurutkan semangat Dimas untuk berkarya. Pada Desember 2009, Dimas memutuskan untuk mengumpulkan modal agar bisa membangun kembali usahanya dengan bekerja di perusahaan desain produk furniture di Jakarta Selatan.

Setelah enam bulan bekerja, Dimas akhirnya mengundurkan diri dan fokus untuk mengembangkan usahanya. Kebetulan Dimas mendapatkan tawaran untuk mengerjakan proyek pembuatan pisau khusus kelapa sawit dari sebuah perusahaan sawit nasional. Saat ini proyek tersebut masih dalam tahap riset yang sudah berjalan selama tiga bulan.

"Saya belum bisa memberi tahu nama perusahaannya. Namun, mereka meminta saya untuk mendesain dan membuat pisau yang khusus untuk kelapa sawit, mulai dari segi ergonomis hingga keamanannya, karena selama ini banyak pisau khusus kelapa sawit yang perlu ditingkatkan aspek desain, keamanan, dan kenyamannya," paparnya.

Untuk urusan marketing, mulai dari promosi hingga memasarkan produk, Dimas melakukannya sendiri. Ilmu pemasaran dipelajarinya secara autodidak atau learning by doing. "Selama ini, saya mempromosikan produk hanya dari Facebook, forum pisau di Kaskus, forum pisau American Blacksmith Community, dan mulut ke mulut," kata dia.

Akhirnya, semua usaha Dimas membuahkan hasil. Produknya berhasil menembus pasar Dubai, Toronto, Amerika Serikat (AS), dan Malaysia, meski tidak dengan volume yang besar.

"Pertama kali saya kirim ke Dubai, ada pembeli yang pesan dua pisau yang bernilai sekira Rp2 juta. Setelah itu, saya mendapat order dari Toronto dan Malaysia. Dari Facebook pun, saya berhasil merambah ekspor ke AS," tutur Dimas.

Dimas pun mengungkapkan alasan banyak orang tertarik dengan pisau. Menurut dia, ciri khas pisau buatannya adalah desain yang kental dengan budaya Indonesia.

"Mereka bilang ke saya bahwa lebih suka pisau tradisional. Dan menurut mereka, buatan saya lebih baik daripada pisau yang ada di negaranya. Selama ini pasar mereka dikuasai oleh perusahaan pisau ternama asal Australia yang khusus membuat pisau tradisional Indonesia dengan harga yang tinggi, jadi itu adalah celah saya agar bisa masuk dengan menawarkan harga lebih kompetitif," jelasnya.

Dimas mengaku, saat ini keuntungan yang dikantonginya rata-rata mencapai Rp5 juta per bulan. "Walau mungkin nggak ada apa-apanya jika dibandingkan bekerja di perusahaan, tapi ada kepuasan tersendiri," ucapnya. (fn/kn/ok) www.suaramedia.com