JAKARTA (ResistNews) - Ketua Fraksi Partai Golongan Karya DPR RI Setya Novanto berharap Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak ke luar dan menanggalkan atribut Partai Golkar yang telah lama disandangnya, menyusul desakan sejumlah pihak agar Sultan menjadi simbol Yogyakarta yang netral.
"Saya sudah lama mengenal beliau dan hubungan Golkar dengan Sri Sultan juga sangat baik. Dalam kondisi saat ini lebih baik bagaimana mendengarkan aspirasi masyarakat dulu. Namun kami tetap menghargai aspirasi dan kepentingan semua pihak," kata Novanto di Gedung DPR, Jakarta, Senin (6/12/2010).
Sementara anggota Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan, Sri Sultan tak perlu melepaskan jaket parpolnya hanya agar bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Saya nggak setuju, nggak masalah kan gubernur dari partai politik," kata Agun.
Sampai saat ini Sri Sultan masih tercatat sebagai politisi Partai Golkar dan termasuk tokoh yang membidani lahirnya Organisasi Kemasyarakatan Nasional Demokrat.
Sejumlah pihak meminta Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Yogyakarta melepas jubah parpolnya dan menjadi simbol yang netral demi menjaga keistimewaan Yogyakarta.
Terkait masalah posisi gubernur apakah dipilih atau ditetapkan, Novanto berpendapat, berdasarkan survei internal Golkar, 60-70 persen masyarakat Yogyakarta menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam tetap menjabat gubernur dan wakil gubernur.
"Kita sudah melakukan evaluasi, dan kesimpulan yang didapatkan fraksi sekitar 60-70 persen masyarakat di sana ingin kalau gubernur dan wakil gubernur ditetapkan, bukan dipilih, artinya Hamengkubuwono dan Paku Alam secara otomatis akan menjabatnya," kata Novanto.
Fraksi Golkar juga mengharapkan pemerintah secepatnya menyerahkan draf RUU Keistimewaan DIY ke DPR agar bisa segera dibahas.
Sebelumnya, erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober lalu merupakan isyarat bakal ada gonjang-gonjing di Yogyakarta. Belakangan saat air mata para korban Merapi belum kering kekisruhan itu betul-betul tiba.
Adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta pemicunya. Statement itu lantas disikapi oleh Sultan dengan penegasan bahwa tidak ada monarki di Yogya. Setali tiga uang, rakyat Yogya pun bangkit membela Sultannya.
Berbagai bentuk aksi digalang untuk mendukung penetapan Sultan sebagai gubernur dan Pakualam sebagai wakil gubernur Yogyakarta. "Itu (erupsi Merapi dengan situasi Yogya sekarang) memang kait mengkait. Ini baru awal saja," ujar paranormal Permadi.
Permadi sebelumnya mengungkapkan posisi Gunung Merapi dalam budaya Jawa sebagai salah satu sentral makrokosmos. Bila gunung ini bergolak maka dapat dipastikan bakal ada peristiwa besar di republik ini.
Wasekjen Merti Nusantara, Bondan Nusantara mengakui mayoritas rayat Yogyakarta memang masih mempercayai mitos di atas. "Ya memang kalau masyarakat tradisional masih mengaitkan soal Merapi dengan hal ini, tapi bagi kami erupsi Merapi itu adalah gejala alam biasa," ungkapnya.
Bagi Bondan yang terpenting saat ini adalah ketenangan warga Yogyakarta tidak diusik-usik lagi. Dia berharap agar pemerintah cepat mengambil keputusan soal RUU Keistimewan Yogykarta. "Biar kami juga bisa cepat mengambil sikap," tandasnya. (fn/ant/ok) www.suaramedia.com
"Saya sudah lama mengenal beliau dan hubungan Golkar dengan Sri Sultan juga sangat baik. Dalam kondisi saat ini lebih baik bagaimana mendengarkan aspirasi masyarakat dulu. Namun kami tetap menghargai aspirasi dan kepentingan semua pihak," kata Novanto di Gedung DPR, Jakarta, Senin (6/12/2010).
Sementara anggota Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan, Sri Sultan tak perlu melepaskan jaket parpolnya hanya agar bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Saya nggak setuju, nggak masalah kan gubernur dari partai politik," kata Agun.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bila Sri Sultan kembali jadi gubernur dengan cara ditetapkan, maka Sri Sultan harus melepaskan baju partai yang selama ini dipakainya.
Tak hanya itu, Sultan juga tidak bisa menggunakan kekuasannya untuk membesarkan partai politik tertentu.
"Bukan hanya melepas partai, tapi dia harus berdiri di atas semua golongan dan partai-partai politik," kata Muzani.
Sampai saat ini Sri Sultan masih tercatat sebagai politisi Partai Golkar dan termasuk tokoh yang membidani lahirnya Organisasi Kemasyarakatan Nasional Demokrat.
Sejumlah pihak meminta Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Yogyakarta melepas jubah parpolnya dan menjadi simbol yang netral demi menjaga keistimewaan Yogyakarta.
Terkait masalah posisi gubernur apakah dipilih atau ditetapkan, Novanto berpendapat, berdasarkan survei internal Golkar, 60-70 persen masyarakat Yogyakarta menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam tetap menjabat gubernur dan wakil gubernur.
"Kita sudah melakukan evaluasi, dan kesimpulan yang didapatkan fraksi sekitar 60-70 persen masyarakat di sana ingin kalau gubernur dan wakil gubernur ditetapkan, bukan dipilih, artinya Hamengkubuwono dan Paku Alam secara otomatis akan menjabatnya," kata Novanto.
Fraksi Golkar juga mengharapkan pemerintah secepatnya menyerahkan draf RUU Keistimewaan DIY ke DPR agar bisa segera dibahas.
Sebelumnya, erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober lalu merupakan isyarat bakal ada gonjang-gonjing di Yogyakarta. Belakangan saat air mata para korban Merapi belum kering kekisruhan itu betul-betul tiba.
Adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta pemicunya. Statement itu lantas disikapi oleh Sultan dengan penegasan bahwa tidak ada monarki di Yogya. Setali tiga uang, rakyat Yogya pun bangkit membela Sultannya.
Berbagai bentuk aksi digalang untuk mendukung penetapan Sultan sebagai gubernur dan Pakualam sebagai wakil gubernur Yogyakarta. "Itu (erupsi Merapi dengan situasi Yogya sekarang) memang kait mengkait. Ini baru awal saja," ujar paranormal Permadi.
Permadi sebelumnya mengungkapkan posisi Gunung Merapi dalam budaya Jawa sebagai salah satu sentral makrokosmos. Bila gunung ini bergolak maka dapat dipastikan bakal ada peristiwa besar di republik ini.
Wasekjen Merti Nusantara, Bondan Nusantara mengakui mayoritas rayat Yogyakarta memang masih mempercayai mitos di atas. "Ya memang kalau masyarakat tradisional masih mengaitkan soal Merapi dengan hal ini, tapi bagi kami erupsi Merapi itu adalah gejala alam biasa," ungkapnya.
Bagi Bondan yang terpenting saat ini adalah ketenangan warga Yogyakarta tidak diusik-usik lagi. Dia berharap agar pemerintah cepat mengambil keputusan soal RUU Keistimewan Yogykarta. "Biar kami juga bisa cepat mengambil sikap," tandasnya. (fn/ant/ok) www.suaramedia.com