Mati syahid di jalan Allah adalah dambaan setiap mujahid fi sabilillah juga cita-cita tertinggi setiap muslim yang jujur dengan keimanannya. Karena tidak semua muslim di dunia ini bangga dengan keislamannya, justru bangga dengan hal lain yang merusak keimanannya.
Mati syahid di medan jihad menjadi dambaan karena didalamnya tersimpan keutamaan yang besar. Dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنِي بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَيَأْمَنُ مِنْ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Orang yg mati syahid mendapatkan enam hal di sisi Allah: Diampuni dosa-dosanya sejak pertama kali darahnya mengalir, diperlihatkan kedudukannya di surga, diselamatkan dari siksa kubur, dibebaskan dari ketakutan yg besar, dihiasi dgn perhiasan iman, dikawinkan dgn bidadari & dapat memberikan syafaat kepada tujuh puluh orang kerabatnya.” [HR. Ibnu Majah No.2789]
Untuk mendapatkan kesyahidan di medan laga, seorang mujahid harus rela meninggalkan semua yang berbau dunia. Meninggalkan semua harta benda,keluarga, kerabat dan sanak saudara untuk melakukan amalan yang keutamaannya tidak bisa disandingkan dengan amalan yang lain.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” Beliau menjawab, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.”
Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.” Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang.” (Muttafaq ‘Alaih)
Maka, sungguh sangat beruntung bagi insan yang diberi kesempatan Allah berjihad. Karena ia diberi kesempatan untuk mereguk pahala besar dari amalan yang paling tinggi. Sungguhlah sangat mulia bagi insan yang mampu berjihad di jalan-Nya. Karena ketika ia mati syahid, maka keutamaan yang luar biasa akan diraihnya.
Namun, ada suatu keadaan dimana jihad tidak mengantarkannya pada derajat syuhada. Secara dhahir memang ia gugur di medan juang di barisan mujahidin. Tetapi, status mati syahid hanya ia dapatkan dari apa yang terlihat semata. Di akhirat, dirinya akan dilemparkan ke neraka yang menyala-nyala.
Kategori Orang yang Gugur di Medan Jihad
Rasululah bersabda dalam sebuah hadits panjang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Dari Utbah bin ‘Abad As-Salmiy bahwasannya Rasulullah bersabda,”Orang yang gugur (di dalam peperangan) itu ada tiga, orang beriman yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, hingga ketika bertemu musuh ia memerangi mereka sampai terbunuh;maka ia adalah asy-syahid mumtahan, ia berada di jannah di bawah Arsy, para nabi tidak memiliki kelebihan darinya selain karena kelebihan kenabian. Kemudian seseorang yang mengkhawatirkan dirinya lantaran dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya, ia berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, hingga ia ketika bertemu musuh ia berperang sampai terbunuh,maka ia adalah al-mumashmishoh; dosa dan kesalahannya dihapuskan, sesungguhnya pedang itu mampu menghapus dosa-dosa, kemudian ia dipersilahkan masuk jannah dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Sesungguhnya jannah itu memiliki delapan pintu. Pintu jannah yang satu lebih utama daripada pintu yang lain. Kemudian ada orang munafik yang berjihad dengan jiwa dan hartanya, hingga ketika ia bertemu musuh ia berperang di jalan Allah sampai terbunuh, ia berada di neraka, karena pedang tidak bisa menghapus kemunafikan.” (HR. Ahmad dengan isnad jayyid, Thabraniy dan Ibnu Hibban)
Tidak semua orang yang shalat di barisan shaf yang sama mendapatkan pahala yang sama. Begitu pula tidak setiap yang terbunuh dari barisan mujahidin masuk kategori syuhada meski dari barisan yang sama.
Berdasarkan hadits di atas ada tiga kategori orang yang gugur di medan jihad. Kategori pertama, mereka yang berangkat berperang dengan niat tulus ikhlas karena Allah semata, selalu berusaha agar Rabb-nya mendapati dirinya dalam keadaan yang membuat-Nya ridho, baik ketika dalam kesendirian atau banyak manusia. Semua risalah Rasulullah ia kerjakan sesuai kemampuan dan secara maksimal. Mereka itulah ketika gugur di medan perang disebut asy-syahid mumtahan.
Kalimat mumtahan menurut Imam Ath-Thabariy adalah hamba yang Allah menguji hatinya, kemudian memurnikan dan membuat hatinya ikhlas dalam ketaqwaan, melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, menjauhi apa yang dilarang baginya, sebagaimana emas yang dilebur, sehingga terpisah emas murninya dari campuran yang mengotorinya. Mujahid yang gugur dalam jihad sementara hatinya seperti itu keadaannya, maka tak ada yang membedakan antara mereka dengan para nabi selain karena kenabian.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih. Allah anugerahkan kesadaran hidup di hatinya sehingga ia serahkan segalanya hanya kepada Rabb semata. Orang-orang seperti ini adalah penyebab turunnya pertolongan Allah bagi suatu pasukan. Ia mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba yang begitu Dia cintai.
Kategori kedua, mukmin naqishul iman, kadang mencampurkan ketaatan dengan maksiat, dia berangkat berjihad dengan perasaan takut kepada Allah atas dosa-dosa dan maksiatnya. Dibawanya perasaan harap dan takutnya kepada Allah ke medan jihad, dia berjihad dengan harta dan dirinya dan tatkala peperangan pecah dengan sengitnya dia termasuk yang gugur dari barisan mujahidin. Mereka itulah syahid mumashmishoh, dosa dan kesalahannya diampuni Allah dengan jihadnya hingga syahid tersebut.
Kategori ketiga adalah mereka yang zahirnya gugur di medan jihad dari barisan mujahidin. Namun, mereka tidak termasuk dalam kategori syuhada dengan segala keutamaannya. Kematiannya di medan perang di barisan mujahidin tidak serta merta mengangkatnya menjadi golongan syuhada. Segala apa yang ia jalani selama ini tidak meninggikan derajatnya di Jannah, tidak membuatnya berteman dengan para anbiya, shiddiqin dan sholihin.
Justru sebaliknya, semua yang ia usahakan selama ini mengantarkannya ke dalam kerak neraka. Kilauan pedang, desingan peluru, lemparan mortar dan gelegarya serta debu-debu perjuangan yang menempel di tubuhnya tidak mampu menghapus kemunafikan yang bersemayam di hatinya.
Kemunafikan adalah sikap paling tercela yang pernah ada. Alih-alih secara kasat mata membela kaum muslimin, ternyata apa yang mereka usahakan hanyalah untuk diri mereka sendiri. Bahkan apa yang mereka lakukan merongrong umat Islam dan menghancurkannya dari dalam. Cukuplah sejarah membuat kita tersadar betapa buruknya kemunafikan itu.
Maka, sudah sepantasnya jika orang-orang munafik ditempatkan di dalam neraka yang paling dasar.
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرْكِ ٱلْأَسْفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. “ (QS. An-Nisa’ : 145)
Lebih tragis lagi adalah adanya sekelompok manusia yang menghalang-halangi mujahidin menegakkan syariat Islam dengan sebutan khawarij. Para mujahidin memerangi thaghut dan kaum musyrikin tetapi justru mereka menjadi duri dalam daging. Bahkan menyebut para mujahidin dengan sebutan kilabun naar. Berdalih dengan ketaatan pada ulil amri, menyerahkan nyawa-nyawa saudaranya sesame muslim kepada para musuh Allah. Kerusakan tashawwur memang bak mengenakan kacamata terbalik, melihat yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan mempersepsikan kemungkaran sebagai kema’rufan. Wailyadzubillah.
Semoga Allah menghindarkan kita dari kerusakan tashawwur dan menganugerahkan kita kesyahidan tanpa kemunafikan di hati. Wallahu a’lam bi shawab.
Penulis : Dhani El_Ashim
Editor : Arju
Mati syahid di medan jihad menjadi dambaan karena didalamnya tersimpan keutamaan yang besar. Dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنِي بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَيَأْمَنُ مِنْ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Orang yg mati syahid mendapatkan enam hal di sisi Allah: Diampuni dosa-dosanya sejak pertama kali darahnya mengalir, diperlihatkan kedudukannya di surga, diselamatkan dari siksa kubur, dibebaskan dari ketakutan yg besar, dihiasi dgn perhiasan iman, dikawinkan dgn bidadari & dapat memberikan syafaat kepada tujuh puluh orang kerabatnya.” [HR. Ibnu Majah No.2789]
Untuk mendapatkan kesyahidan di medan laga, seorang mujahid harus rela meninggalkan semua yang berbau dunia. Meninggalkan semua harta benda,keluarga, kerabat dan sanak saudara untuk melakukan amalan yang keutamaannya tidak bisa disandingkan dengan amalan yang lain.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” Beliau menjawab, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.”
Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.” Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang.” (Muttafaq ‘Alaih)
Maka, sungguh sangat beruntung bagi insan yang diberi kesempatan Allah berjihad. Karena ia diberi kesempatan untuk mereguk pahala besar dari amalan yang paling tinggi. Sungguhlah sangat mulia bagi insan yang mampu berjihad di jalan-Nya. Karena ketika ia mati syahid, maka keutamaan yang luar biasa akan diraihnya.
Namun, ada suatu keadaan dimana jihad tidak mengantarkannya pada derajat syuhada. Secara dhahir memang ia gugur di medan juang di barisan mujahidin. Tetapi, status mati syahid hanya ia dapatkan dari apa yang terlihat semata. Di akhirat, dirinya akan dilemparkan ke neraka yang menyala-nyala.
Kategori Orang yang Gugur di Medan Jihad
Rasululah bersabda dalam sebuah hadits panjang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Dari Utbah bin ‘Abad As-Salmiy bahwasannya Rasulullah bersabda,”Orang yang gugur (di dalam peperangan) itu ada tiga, orang beriman yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, hingga ketika bertemu musuh ia memerangi mereka sampai terbunuh;maka ia adalah asy-syahid mumtahan, ia berada di jannah di bawah Arsy, para nabi tidak memiliki kelebihan darinya selain karena kelebihan kenabian. Kemudian seseorang yang mengkhawatirkan dirinya lantaran dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya, ia berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, hingga ia ketika bertemu musuh ia berperang sampai terbunuh,maka ia adalah al-mumashmishoh; dosa dan kesalahannya dihapuskan, sesungguhnya pedang itu mampu menghapus dosa-dosa, kemudian ia dipersilahkan masuk jannah dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Sesungguhnya jannah itu memiliki delapan pintu. Pintu jannah yang satu lebih utama daripada pintu yang lain. Kemudian ada orang munafik yang berjihad dengan jiwa dan hartanya, hingga ketika ia bertemu musuh ia berperang di jalan Allah sampai terbunuh, ia berada di neraka, karena pedang tidak bisa menghapus kemunafikan.” (HR. Ahmad dengan isnad jayyid, Thabraniy dan Ibnu Hibban)
Tidak semua orang yang shalat di barisan shaf yang sama mendapatkan pahala yang sama. Begitu pula tidak setiap yang terbunuh dari barisan mujahidin masuk kategori syuhada meski dari barisan yang sama.
Berdasarkan hadits di atas ada tiga kategori orang yang gugur di medan jihad. Kategori pertama, mereka yang berangkat berperang dengan niat tulus ikhlas karena Allah semata, selalu berusaha agar Rabb-nya mendapati dirinya dalam keadaan yang membuat-Nya ridho, baik ketika dalam kesendirian atau banyak manusia. Semua risalah Rasulullah ia kerjakan sesuai kemampuan dan secara maksimal. Mereka itulah ketika gugur di medan perang disebut asy-syahid mumtahan.
Kalimat mumtahan menurut Imam Ath-Thabariy adalah hamba yang Allah menguji hatinya, kemudian memurnikan dan membuat hatinya ikhlas dalam ketaqwaan, melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, menjauhi apa yang dilarang baginya, sebagaimana emas yang dilebur, sehingga terpisah emas murninya dari campuran yang mengotorinya. Mujahid yang gugur dalam jihad sementara hatinya seperti itu keadaannya, maka tak ada yang membedakan antara mereka dengan para nabi selain karena kenabian.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih. Allah anugerahkan kesadaran hidup di hatinya sehingga ia serahkan segalanya hanya kepada Rabb semata. Orang-orang seperti ini adalah penyebab turunnya pertolongan Allah bagi suatu pasukan. Ia mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba yang begitu Dia cintai.
Kategori kedua, mukmin naqishul iman, kadang mencampurkan ketaatan dengan maksiat, dia berangkat berjihad dengan perasaan takut kepada Allah atas dosa-dosa dan maksiatnya. Dibawanya perasaan harap dan takutnya kepada Allah ke medan jihad, dia berjihad dengan harta dan dirinya dan tatkala peperangan pecah dengan sengitnya dia termasuk yang gugur dari barisan mujahidin. Mereka itulah syahid mumashmishoh, dosa dan kesalahannya diampuni Allah dengan jihadnya hingga syahid tersebut.
Justru sebaliknya, semua yang ia usahakan selama ini mengantarkannya ke dalam kerak neraka. Kilauan pedang, desingan peluru, lemparan mortar dan gelegarya serta debu-debu perjuangan yang menempel di tubuhnya tidak mampu menghapus kemunafikan yang bersemayam di hatinya.
Kemunafikan adalah sikap paling tercela yang pernah ada. Alih-alih secara kasat mata membela kaum muslimin, ternyata apa yang mereka usahakan hanyalah untuk diri mereka sendiri. Bahkan apa yang mereka lakukan merongrong umat Islam dan menghancurkannya dari dalam. Cukuplah sejarah membuat kita tersadar betapa buruknya kemunafikan itu.
Maka, sudah sepantasnya jika orang-orang munafik ditempatkan di dalam neraka yang paling dasar.
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرْكِ ٱلْأَسْفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. “ (QS. An-Nisa’ : 145)
Lebih tragis lagi adalah adanya sekelompok manusia yang menghalang-halangi mujahidin menegakkan syariat Islam dengan sebutan khawarij. Para mujahidin memerangi thaghut dan kaum musyrikin tetapi justru mereka menjadi duri dalam daging. Bahkan menyebut para mujahidin dengan sebutan kilabun naar. Berdalih dengan ketaatan pada ulil amri, menyerahkan nyawa-nyawa saudaranya sesame muslim kepada para musuh Allah. Kerusakan tashawwur memang bak mengenakan kacamata terbalik, melihat yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan mempersepsikan kemungkaran sebagai kema’rufan. Wailyadzubillah.
Semoga Allah menghindarkan kita dari kerusakan tashawwur dan menganugerahkan kita kesyahidan tanpa kemunafikan di hati. Wallahu a’lam bi shawab.
Penulis : Dhani El_Ashim
Editor : Arju