14 Januari 2016, yang lalu, setelah “bom Thamrin” meletus, ragam spekulasi siapa pelaku, otak di balik pengeboman bermunculan. Aparat langsung menyasar ISIS dibalik aksi.
Selanjutnya hampir semua TV di negeri ini kemudian “mengaminkan” dengan melakukan “monsterisasi” terhadap ISIS. Tanpa menunggu kejelasan siapa pelaku dan otak di balik teror. Masyarakat muslim diteror dengan monsterisasi ISIS ini.
Sudah setengah bulan berlalu, pengusutan siapa otak di balik pengeboman –padahal ini yang diinginkan masyarakat agar spekulasi dan stigmatisasi tidak terus berlarut– sayup-sayup semakin tidak terdengar lagi.
Seperti lagu-lagu penanganan teroris sebelumnya, bahwa siapa pelaku dan otak di balik pengeboman itu selalu kabur. Persis seperti kaburnya penunjukan makna terorisme dan istilah radikalime. Karena memang bagi pemerintah itu tidak penting. Dari dulu pemerintah terkesan tidak pernah serius menanganinya.
Pemerintah justru sibuk menggolkan agenda berikutnya, yakni revisi terhadap UU anti terorisme”.
Menurut Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, “Salah satu pasal penting yang ditambahi dalam draf revisi tersebut adalah soal penindakan terhadap seseorang yang melakukan penistaan pada negara dengan tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penunjukan apa yang dimaksud dengan pasal penambahan dari revisi UU itu juga tidak jelas dan kabur.
Luhut mengatakan selama ini orang atau sekelompok orang yang tidak mengakui negara Republik Indonesia dan menyatakan ingin mendirikan negara sendiri seperti halnya ISIS, bisa bebas menyatakan pengakuannya karena memang tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
Kenapa Luhut langsung menohok ke ISIS. Kenapa tidak OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang jelas-jelas sudah mendaftarkan kemerdekaan Papua diri ke PBB tidak termasuk teroris? Bahkan dua orang anggota TNI beberapa waktu lalu dikabarkan di Papua sudah ” dimasak”. Jelas pernyataan Luhut ini paranoid dan irrasional.
Di kesempatan lain Luhut juga menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap Islam atas nama terorisme. “Kami desain UU ini agar negeri ini aman. Teroris itu 50 % lebih balik lagi menjadi teroris. Kalau dia mau masuk ke surga, ketemu 76 angels (bidadari) nya, fine (baik). Kau pergi saja, suruh Ustadznya aja pergi dulu. Dia cerita bagus baru balik sini, biar kita rame-rame ke sana.” Isi kepala Luhut seolah tidak ada tafsir lain persoalan terorisme ini kecuali Islam dan kaum muslimin.
Amerika Serikat dan Inggris yang bersaing pengaruh atas Papua sama sekali tidak dicurigai sebagai teroris. Duta Besar Amerika seminggu melakukan “kunjungan” ke Papua, Demikian pula Dubes Inggris. Papua diperebutkan asing, kenapa Luhut diam?
Sikap paranoid terhadap Islam juga ditunjukkan oleh pihak kepolisian. Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengusulkan Ceramah Provokatif Masuk Draft Revisi UU Terorisme. Bahkan Kapolri juga ingin pidanakan orang yang Baru pulang dari Suriah.
Sementara menteri-menteri yang “menjual” aset BUMN dengan menghutang pada asing, melakukan liberalisasi di sana sini, yang jelas-jelas berbahaya bagi NKRI, tidak dipahami membahayakan negara.
Kominfo juga tidak mau ketinggalan ambil bagian. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyampaikan telah kembali memblokir 24 situs radikal. dan semua situs-situs yang diblokir adalah yang beristilahkan Islam. Tidak ada situs Organisasi Papua Merdeja atau LGBT yang diblokir. Ini juga merupakan sikap paranoid atas kaum muslim dengan dalil radikalisme.
Kaum muslimin selalu jadi bulan-bulanan atas penanganan terorisme yang tidak serius di negeri ini. Ulama juga merasakan dan mengeluhkan sikap paranoid aparat dalam penanggulangan terorisme ini.
“Sebetulnya kita ini dikejar perbuatan manusia-manusia yang dikatakan teroris, terduga teroris yang dikeler, ulama-ulama yang dikeler, dituduh, terduga teroris, entah benar atau tidak. Sementara bangsa teroris yang jelas-jelas teroris, negara teroris yang jelas-jelas teroris dibiarkan begitu saja,” tutur Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDS), KH Hasan Abdullah Sahal dalam Silaturahim Nasional Kiai/Pimpinan Pesantren Alumni Gontor di Siti Hotel, Tangerang, Jum’at (22/01/2016).
Sehingga, apa yang dikatakan Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indobesia), bahwa penanganan kasus terorisme adalah proyek bukan isapan jempol.
Saat ada bom, terjadi penangkapan terhadap kaum muslim, benar atau salah, semua serba tidak jelas dan tidak ada habisnya. Semua seolah harus terus dan terus terjadi agar proyek terus berlangsung.
Semua ini menunjukkan bahwa penanganan pemerintah atas persoalan terorisme tidak pernah serius. [hizbut-tahrir.or.id]
Selanjutnya hampir semua TV di negeri ini kemudian “mengaminkan” dengan melakukan “monsterisasi” terhadap ISIS. Tanpa menunggu kejelasan siapa pelaku dan otak di balik teror. Masyarakat muslim diteror dengan monsterisasi ISIS ini.
Sudah setengah bulan berlalu, pengusutan siapa otak di balik pengeboman –padahal ini yang diinginkan masyarakat agar spekulasi dan stigmatisasi tidak terus berlarut– sayup-sayup semakin tidak terdengar lagi.
Seperti lagu-lagu penanganan teroris sebelumnya, bahwa siapa pelaku dan otak di balik pengeboman itu selalu kabur. Persis seperti kaburnya penunjukan makna terorisme dan istilah radikalime. Karena memang bagi pemerintah itu tidak penting. Dari dulu pemerintah terkesan tidak pernah serius menanganinya.
Pemerintah justru sibuk menggolkan agenda berikutnya, yakni revisi terhadap UU anti terorisme”.
Menurut Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, “Salah satu pasal penting yang ditambahi dalam draf revisi tersebut adalah soal penindakan terhadap seseorang yang melakukan penistaan pada negara dengan tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penunjukan apa yang dimaksud dengan pasal penambahan dari revisi UU itu juga tidak jelas dan kabur.
Luhut mengatakan selama ini orang atau sekelompok orang yang tidak mengakui negara Republik Indonesia dan menyatakan ingin mendirikan negara sendiri seperti halnya ISIS, bisa bebas menyatakan pengakuannya karena memang tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
Kenapa Luhut langsung menohok ke ISIS. Kenapa tidak OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang jelas-jelas sudah mendaftarkan kemerdekaan Papua diri ke PBB tidak termasuk teroris? Bahkan dua orang anggota TNI beberapa waktu lalu dikabarkan di Papua sudah ” dimasak”. Jelas pernyataan Luhut ini paranoid dan irrasional.
Di kesempatan lain Luhut juga menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap Islam atas nama terorisme. “Kami desain UU ini agar negeri ini aman. Teroris itu 50 % lebih balik lagi menjadi teroris. Kalau dia mau masuk ke surga, ketemu 76 angels (bidadari) nya, fine (baik). Kau pergi saja, suruh Ustadznya aja pergi dulu. Dia cerita bagus baru balik sini, biar kita rame-rame ke sana.” Isi kepala Luhut seolah tidak ada tafsir lain persoalan terorisme ini kecuali Islam dan kaum muslimin.
Amerika Serikat dan Inggris yang bersaing pengaruh atas Papua sama sekali tidak dicurigai sebagai teroris. Duta Besar Amerika seminggu melakukan “kunjungan” ke Papua, Demikian pula Dubes Inggris. Papua diperebutkan asing, kenapa Luhut diam?
Sikap paranoid terhadap Islam juga ditunjukkan oleh pihak kepolisian. Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengusulkan Ceramah Provokatif Masuk Draft Revisi UU Terorisme. Bahkan Kapolri juga ingin pidanakan orang yang Baru pulang dari Suriah.
Sementara menteri-menteri yang “menjual” aset BUMN dengan menghutang pada asing, melakukan liberalisasi di sana sini, yang jelas-jelas berbahaya bagi NKRI, tidak dipahami membahayakan negara.
Kominfo juga tidak mau ketinggalan ambil bagian. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyampaikan telah kembali memblokir 24 situs radikal. dan semua situs-situs yang diblokir adalah yang beristilahkan Islam. Tidak ada situs Organisasi Papua Merdeja atau LGBT yang diblokir. Ini juga merupakan sikap paranoid atas kaum muslim dengan dalil radikalisme.
Kaum muslimin selalu jadi bulan-bulanan atas penanganan terorisme yang tidak serius di negeri ini. Ulama juga merasakan dan mengeluhkan sikap paranoid aparat dalam penanggulangan terorisme ini.
“Sebetulnya kita ini dikejar perbuatan manusia-manusia yang dikatakan teroris, terduga teroris yang dikeler, ulama-ulama yang dikeler, dituduh, terduga teroris, entah benar atau tidak. Sementara bangsa teroris yang jelas-jelas teroris, negara teroris yang jelas-jelas teroris dibiarkan begitu saja,” tutur Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDS), KH Hasan Abdullah Sahal dalam Silaturahim Nasional Kiai/Pimpinan Pesantren Alumni Gontor di Siti Hotel, Tangerang, Jum’at (22/01/2016).
Sehingga, apa yang dikatakan Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indobesia), bahwa penanganan kasus terorisme adalah proyek bukan isapan jempol.
Saat ada bom, terjadi penangkapan terhadap kaum muslim, benar atau salah, semua serba tidak jelas dan tidak ada habisnya. Semua seolah harus terus dan terus terjadi agar proyek terus berlangsung.
Semua ini menunjukkan bahwa penanganan pemerintah atas persoalan terorisme tidak pernah serius. [hizbut-tahrir.or.id]