-->

Tentara Bayaran AS di Irak Tak Pernah Pergi, Hanya Berganti Majikan

Kontraktor militer swsta AS di Irak mengabdi pada rezim Syiah Nuri Al-Maliki.
Pentagon telah mengatakan bahwa kontraktor jasa pertahanan AS -perusahaan penyedia tentara bayaran- telah meninggalkan Irak sejak bulan Desember. Hanya beberapa pekan sebelum beberapa bagian wilayah Irak ditaklukkan oleh pejuang Al-Qaidah. Meski demikian, ada fakta menarik ditemukan: Ketika sejumlah kontraktor jasa pertahanan asal AS di Irak telah berkurang, beberapa dari mereka masih berada di sana, dan bekerja langsung bagi pemerintah rezim Syiah Irak.

“Perubahan ini merupakan bagian dari upaya peningkatan hubungan AS-Irak. Kontrak Departemen Pertahanan AS dengan perusahaan kontraktor-kontraktor jasa pertahanan telah dipindahtangankan kepada Irak, di bawah administrasi pemerintahan Perdana Menteri Nuri al Maliki pada bulan Desember lalu,” kata Kapten (AL) Bill Speaks, juru bicara Pentagon, seperti dikutip Kiblat.net dari Foreign Policy, Ahad (26/01).

Saat ini, tak ada lagi pasukan tentara bayaran di Irak yang berada di bawah naungan Departemen Pertahanan AS. Pada bulan Oktober lalu, pasukan tentara bayaran masih berjumlah 6.624 orang, menurut laporan triwulan yang dirilis pada saat itu. Dari 6.624 pasukan itu, 1.626 adalah warga negara AS, 2.807 warga sipil dari negara lain, dan 2.191 adalah warga Irak sendiri, kata laporan itu.

“Tugas-tugas pada kontrak terakhir Departemen Pertahanan AS di Irak berakhir pada 15 Desember, ketika pemerintah Irak mengambil alih fasilitas pangkalan Angkatan Laut AS di Umm Qasr,” kata Speaks. Amerika Serikat telah membangun fasilitas perbaikan kapal di sana untuk militer Irak, dan telah dibuka sejak tahun 2011.

Perubahan ini semakin menguatkan upaya militer AS yang hendak angkat kaki dari Irak, meskipun kini muncul gelombang kekerasan sektarian, yang berpotensi merusak kegemilangan AS yang diraih dengan susah payah bertahun-tahun. “Sekarang hanya ada 250 tentara AS di Irak,” kata Speaks , turun dari jumlah total tentara sebesar 157.800 personel pada masa puncak pendudukan AS di Irak. Sekitar setengah dari 250 pasukan tersebut ditugaskan di Kantor Kerja Sama Keamanan Irak , yang mengontrol dan mengawasi hubungan militer AS dengan pasukan Irak. Sisanya adalah Korps Marinir yang bekerja di fasilitas diplomatik AS.

Salah satu contoh perusahaan yang tetap tinggal di Irak, meskipun terjadi perubahan mengenai siapa nantinya yang akan membayar mereka adalah Triple Canopy. Perusahaan raksasa pertahanan yang berbasis di Herndon, Virginia. Mereka telah mendapat banyak untung, sebagai salah satu penyedia keamanan nomer wahid asli Washington di zona perang, dan merupakan salah satu dari delapan perusahaan yang mendapat jatah dalam kontrak bertitelWorldwide Protective Services selama lima tahun, senilai 10,8 miliar USD dari Departemen Luar Negeri AS. Kontrak yang ditandatangani pada tahun 2010 itu bertugas memberikan keamanan terhadap fasilitas dan personil diplomatik AS di seluruh dunia. Namun, Triple Canopy juga memiliki berbagai kontrak dengan nilai lebih kecil dengan Pentagon untuk pekerjaan lain di Irak, dan mereka pun kini hendak meneruskan kerja mereka di sana sekarang.

“Baru-baru ini lembaga pemerintah AS telah mengurangi ketergantungan mereka pada kontraktor penyedia jasa pertahanan, karena pemotongan anggaran dan telah mengurangi kontrak di segala sisi, termasuk di Irak,” kata perwakilan perusahaan Triple Canopy kepada Foreign Policy.

“Kontraktor kami akan tetap berada di Irak dalam waktu dekat . Namun, sebagian besar personel kami kemungkinan akan bekerja pada proyek-proyek galian mineral komersial dan proyek-proyek konstruksi bangunan,” lanjutnya.

Sementara itu Departemen Luar Negeri AS, mencatat sekitar 5.000 orang yang masih bekerja di kontraktor jasa pertahanan. “Mereka ditempatkan di Irak, di kedutaan AS di Baghdad dan konsulat di Basra dan Erbil,” kata juru bicara departemen kepada FP.

Sekitar 2.000 dari jumlah tersebut adalah warga negara AS. Statistik ini menunjukkan penurunan tajam dari bulan Januari tahun 2013, saat Departemen Luar Negeri AS mencatat ada 12.500 orang yang bekerja di kontraktor jasa pertahanan yang bekerja di Irak, termasuk sekitar 4.500 dari jumlah tersebut adalah warga negara Amerika.

Dengan sangat sedikitnya tentara AS yang tersisa di Irak, bidang garapan para kontraktor yang tersisa akan bertambah dengan berbagai tugas yang pernah diemban oleh militer. Dyncorp International, misalnya, telah menandatangani kontrak lima tahun dengan Departemen Luar Negeri pada tahun 2010 dengan nilai kontrak hingga $ 894 Juta USD untuk menyediakan ”Angkatan Udara Swasta” yang mencakup helikopter jenis UH-1 dan pesawat DHC–8 dan semua perlengkapannya.

“Perusahaan ini tidak hanya menyediakan transportasi udara, tetapi juga unit reaksi cepat, pergerakan yang mungkin diperlukan dalam keadaan darurat, operasi evakuasi medis, jalur-jalur pengintaian dan pengawalan konvoi udara,” kata seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS.

Pejabat kedutaan besar AS di Baghdad berencana untuk terus mengurangi staf dan fasilitas, sebagaimana perjanjian pasca perang yang telah disepakati AS dan Irak, menurut laporan inspektur jenderal Departemen Luar Negeri yang dirilis pada bulan Mei 2013. Departemen Luar Negeri AS menghabiskan $ 698 juta USD hanya untuk keamanan aset-aset mereka di Irak pada tahun 2012, anggaran yang sangat besar, melebihi anggaran-anggaran yang pernah dihabiskan pada misi-misi lainnya, kata laporan itu.

“Dengan statistik ini, serta setelah terdapat pengurangan kontraktor jasa pertahanan AS di Irak, sebenarnya menggambarkan adanya masalah yang berkelanjutan yang berdampak pada munculnya tentara bayaran swasta sebagai penyedia keamanan, bukannya menggunakan militer AS,” kata mantan anggota perwakilan rakyat AS dari Connecticut, Christopher Shays, kepada FP. Dia pernah menjabat ketua U.S. Commission on Wartime Contracting (Komisi Independen untuk mereview anggaran dan kontrak-kontrak semasa perang di Iraq dan Afghan), yang didirikan oleh Kongres dan menyimpulkan bahwa setidaknya $ 31 milyar anggaran AS telah terbuang akibat pengawasan yang buruk, penipuan, pemborosan dan penyalahgunaan.

“Kepergian pasukan militer membuat kita menjadi lebih tergantung pada perusahaan tentara bayaran untuk keamanan kita,” kata Shays, yang sekarang menjadi mahasiswa program doktoral di University of New Haven di Connecticut. “Satu hal yang kita pelajari: Kita tidak bisa pergi berperang tanpa kontraktor-kontraktor jasa pertahanan itu dan kita juga tidak bisa mencapai perdamaian tanpa mereka.” [Multazim/FP/kiblat.net/ +ResistNews Blog ]