-->

Mengenal Sosok Intelijen Anti-Islam (2)

Untuk memuluskan langkah-langkah politik Islamophobia, kelompok militer anti-Islam yang dikomandoi oleh Ali Moertopo, oknum pengusaha etnik Cina, Serikat Jesuit, dan pejabat sekular-kejawen, mendirikan sebuah lembaga think tank bernama Centre for Strategic and International Studies (CSIS)  pada 1 September 1971, bermarkas di Tanah Abang III, Jakarta Pusat.
Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani (penasihat kebatinan Soeharto) menjadi sosok yang berada di belakang CSIS. Lembaga ini kemudian membuat masterplan pembangunan Orde Baru yang sangat menguntungkan pemerintah, pengusaha etnik Cina dan kelompok Kristen.
Sementara umat Islam dianggap sebagai bahaya yang mengancam, yang bercita-cita mendirikan negara Islam. Mereka masih menjadikan isu “Darul Islam” sebagai jualan untuk memberangus gerakan Islam. Selain pula mewaspadai kebangkitan Islam politik yang pada masa lalu direpresentasikan melalui kekuatan Partai Masyumi.
Kelompok Kristen dan oknum pengusaha etnik Cina yang merapat ke militer, meyakinkan pemerintah dan tentara, bahwa jika umat Islam berkuasa, maka akan terjadi diktator mayoritas, dimana penegakan syariat Islam akan diberlakukan.
Pemerintah yang ketika itu mabuk kekuasaan dan tentara yang diindoktrinasi untuk mewaspadai ancaman terhadap kebhinekaan Pancasila, kemudian termakan isu tersebut, sehingga memposisikan umat Islam sebagai bahaya.
Agenda politik kelompok anti Islam ini berhasil menciptakan konglomerasi dan gurita bisnis antara penguasa dan pengusaha. Di antara jaringan bisnis tersebut adalah Pan Group milik Panlaykim dan Mochtar Riady, PT Tri Usaha Bakti milik Soedjono Hoemardani, Pakarti Grup milik Lim Bian Kie dan Panlaykim, dan Berkat Grup milik Yap Swie Kie.
Masuknya kekuatan konglomerat dalam lingkaran Orde Baru membuat rezim tersebut semakin kuat. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa Orde Baru dibangun oleh empat pilar kekuatan, yaitu ABRI, Birokrat, Golkar dan konglomerat.
Keempat pilar tersebut memainkan peran penting dalam memarjinalkan peran politik umat Islam saat itu. Kolaborasi rezim Orba dengan pengusaha Katolik/Cina di antaranya dengan membuat kebijakan yang memotong urat nadi ekonomi umat Islam dan menghidupkan kelompok kecil Cina keturunan.
Sentra-sentra ekonomi umat Islam seperti di Pekalongan, Solo, Pekajangan, Majalaya, dan lain-lain, dengan aneka kebijakan pemerintah dapat dikerdilkan.
Jaringan perbankan dan sektor keuangan lainnya juga berhasil mereka kuasai. Karena itu, ketika Orba berkuasa, gurita bisnis kelompok ini begitu perkasa dan dapat memengaruhi kebijakan pemerintah.
Siapa Ali Moertopo sesungguhnya?
Mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro mengatakan asal usul Ali Moertopo sangat gelap, sehingga banyak rumor yang beredar tentang sosoknya.

Kasman Singodimedjo, tokoh Islam yang pada zaman Soekarno aktif di militer mengatakan, Ali Moertopo adalah bekas intel tentara Angkatan Laut Belanda (Netherland Information Service) yang ditangkap Hizbullah di daerah Tegal, Jawa Tengah. Saat ditangkap, Ali Moertopo nyaris dibunuh. Ia kemudian dijadikan double agent oleh Hizbullah.
Ali Moertopo
Versi lain, seperti diceritakan Adam Malik, Ali Moertopo adalah pendiri AKOMA (Angkatan Komunis Muda) yang berafiliasi pada partai Murba Alimin, yang berhaluan Sneevliet. Meski tidak percaya bahwa Moertopo bekas pentolan salah satu organisasi Komunis, Soemitro menceritakan kisah yang dikait-kaitkan dengan sosok Komunis Moertopo.
Saat ada seorang staf Moertopo ingin membuat tulisan tentang “Peristiwa Tiga Daerah” yang menyebutkan Komunis sebagai dalang dari peristwa itu, Moertopo membentaknya. “Mau Apa? Mau mendiskreditkan saya?”
Moertopo juga dikenal dekat dengan Kolonel Marsudi, salah seorang anggota PKI yang pernah menjadi Direktur Opsus. Selama di Opsus, Marsudi selalu berada di belakang layar dan sangat tertutup.
Marsudi pun disebut-sebut sebagai pendiri Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa underbouw PKI. Cerita mengenai ini diungkap dalam buku biografi Jenderal Soemitro, senior Ali Moertopo di lingkungan militer, yang ditulis oleh Ramadhan K.H.
Dalam catatan Jenderal Soemitro, jauh-jauh hari Ali Moertopo sudah merencanakan CSIS dan Opsus sebagai alat untuk memperkuat dan mengamankan rezim Orba.
Ali Moertopo yang melihat kekuatan Islam sebagai gerakan yang bisa mengancam ‘gerak laju pembangunan’, mencari partner yang bisa diajak untuk sama-sama menjegal gerakan Islam. Dan partner tersebut adalah kelompok Katolik yang tergabung dalam Ordo Jesuit.
Ali Moertopo didekati kelompok ini karena posisinya sebagai orang dekat Soeharto dan mempunyai pengaruh di ABRI. Kabarnya, Ali Moertopo sudah didekati kelompok ini sejak tahun 1960-an.
Ali Moertopo sendiri sudah mengetahui bahaya dari kelompok Orde Jesuit ini, yang ia sebut lebih berbahaya dari komunisme karena terdiri dari para intelektual adventurir. Namun, kata Ali, kedekatannya dengan kelompok itu adalah untuk meredam gerakan mereka, atau dalam bahasanya “untukmengandangkannya ketimbang bergerak liar”.
Apakah dalam rangka “mengandangkan” Orde Jesuit ini juga, kemudian Ali Moertopo menjadikan rumah Pater Beek (tokoh Jesuit Indonesia) di jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, sebagai markas Opsus?
Saat peristiwa 15 Januari 1974, Ali Moertopo diduga terlibat penunggangan aksi apel mahasiswa yang menolak kedatangan PM Jepang yang berujung pada kerusuhan di Jakarta.
Tujuan manuver politik Moertopo adalah untuk menyingkirkan orang-orang yang mencoba mendekati Soeharto dan menjadi rival politiknya. Untuk menggambarkan bahwa dia orang yang bisa mengendalikan kebijakan politik Orde Baru, Benny Moerdani, kadernya Moertopo, pernah mengatakan, ”Kuda boleh berganti, tapi saisnya tetap satu”.
Artinya, siapapun bisa menggantikan Soeharto, asalkan tetap bisa dikendalikan oleh Moertopo dan kelompoknya.
Setelah peristiwa 15 Januari 1974, Ali Moertopo melakukan lobi politik kepada Presiden Soeharto untuk memanggil Benny ke Jakarta agar ditempatkan dalam jajaran penting di militer.
Keseriusan Ali Moertopo untuk menempatkan kadernya dalam posisi strategis di elit militer terlihat dengan menelepon langsung Benny yang saat itu berada di Korea Selatan.
Kemudian, dengan diantar sendiri oleh Ali Moertopo, Benny menghadap langsung ke Soeharto. Oleh penguasa Orde Baru itu Benny diserahi jabatan sebagai Ketua G-I Asisten Intelijen Hankam yang bertugas mengendalikan seluruh intelijen di Angkatan Darat dan Polri.
Selain itu, Benny juga ditugaskan untuk membantu Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN).

Leonardus Benny Moerdani
Sebagai kader Ali Moertopo, beberapa posisi penting itu tentu saja sudah direncanakan dengan matang. Apalagi kemudian Benny ikut pula menangani intelijen Kopkamtib dan menjadi Ketua Satuan Tugas Intelijen, serta kemudian menjabat sebagai Kepala Pusat Intelijen Strategis Hankam.
Karir intelijen Leonardus Benjamin (Benny) Moerdani terus melejit dan menjadi sorotan penting dalam hubungannya dengan umat Islam saat ia menggantikan Jenderal M Yusuf sebagaiPanglima ABRI pada tahun 1983.
Setelah Ali Moertopo, tongkat estafet permusuhan militer terhadap umat Islam dilanjutkan oleh Benny Moerdani, kader Jesuit yang juga kader Moertopo.
Bagaimana kiprah Benny Moerdani dalam memberangus gerakan Islam? Lanjutannya di bagian 3. (Artawijaya/salam-online.com/blog.resistnews.web.id)