Tanggal 3 Oktober yang lalu, ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak
Indonesia, Arist Merdeka Sirait memberi pernyataan kepada media bahwa
sekitar 40.000 sampai 70.000 remaja perempuan Indonesia menjadi korban
perdagangan seksual setiap tahunnya. Arist menambahkan, rata–rata
perdagangan seksual tersebut sudah berupa sindikat dan daerah
perdagangannya sudah melintasi luar wilayah hukum Indonesia yakni
Nagoya, Jepang. Sebelumnya pada bulan September Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, bahkan
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara pemasok perdagangan anak
khususnya pekerja seks komersial (PSK) di bawah umur 18 tahun yang
terbesar di Asia Tenggara. Anggota Komisi VIII DPR Ledia Hanifa,
menyebutkan faktor penyebab tingginya angka tersebut adalah lemahnya
implementasi dua Undang-undang yakni UU Perlindungan Anak dan UU Tindak
Pidana Perdagangan Orang, sementara faktor lainnya adalah problem
kesejahteraan, karena modus para pelaku kejahatan ini adalah iming-iming
pekerjaan. Artinya banyak remaja perempuan terperangkap dalam
perdagangan seksual karena tuntutan ekonomi dan sulitnya lapangan kerja,
mereka silau akan bujuk rayu orang yang menawarkan pekerjaan.
Di tengah dakwaan mengerikan pada kondisi sosial Indonesia, pada saat yang sama pemimpinnya justru tengah dihujani pujian sebagai kekuatan ekonomi baru Asia. Jika selama ini dunia hanya memperbincangkan kekuatan ekonomi China dan India, kini Indonesia mulai disebut-sebut sebagai raksasa baru di Asia. Hal ini terlihat jelas saat SBY membawa pulang tiga penghargaan sekaligus usai lawatannya ke New York akhir September lalu, dalam rangka menghadiri Sidang Majelis Umum PBB. Banyak pakar menilai Indonesia tengah mengalami super boom pertumbuhan ekonomi dan memiliki kemampuan luar biasa menghadapi krisis ekonomi global, dengan kata lain Indonesia dianggap potensial ‘membantu’ negara-negara Barat keluar dari krisis ekonomi global.
Ini adalah paradoks yang mengerikan bagi Indonesia yang dianggap sebagai model cemerlang demokrasi dan berhasil membangun ekonominya sebagai kekuatan ekonomi baru Asia, namun pada faktanya justru gagal menyelamatkan generasi mudanya dari belenggu kemiskinan dan justru semakin menjerumuskannya ke jurang kenistaan prostitusi anak yang keji.
Poin-poin di bawah ini merupakan catatan penting menanggapi paradoks sosial ekonomi di Indonesia :
Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi baru, tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia sama sekali tidak mampu menuntaskan persoalan sosial dan kemiskinan pada masyarakatnya. Realitas tingginya angka prostitusi anak ini adalah bukti yang tidak terbantahkan, menguak sesatnya asumsi ala Kapitalis bahwa “ekonomi yang tumbuh memberi ruang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat”. Alih-alih mensejahterakan, sistem ekonomi Kapitalis yang diadopsi Indonesia justru membuat kesenjangan makin lebar dan kemiskinan semakin menggurita. Banyak remaja perempuan akhirnya dengan mudah terperangkap jebakan prostitusi hanya karena tergiur dengan tawaran pekerjaan, bahkan para orangtuanya pun turut mendorong anak-anak gadisnya bekerja semua ini akibat tekanan ekonomi dan kesejahteraan keluarga.
Senada dengan itu, sebagai negara demokrasi Indonesia juga terbukti mandul dalam melindungi anak dari kejahatan eksploitasi. Dua Undang-undang yang sudah dimiliki Indonesia – yakni UU Perlindungan Anak dan UU UU Tindak Pidana Perdagangan Orang – yang lahir dari rahim demokrasi negeri ini juga terbukti gagal dalam melindungi hak-hak Anak yang sejatinya merupakan generasi harapan bangsa. Biaya yang besar dan waktu yang lama dalam menyusun kedua UU ini tidak mampu membayar kerusakan generasi akibat penistaan dan belenggu kemiskinan. Wajar, karena setiap kelahiran undang-undang pro rakyat di negeri ini sudah bisa dipastikan hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil di bawah gurita sistem politik yang berpihak untuk kepentingan elit politik, dan juga tidak berkutik di bawah disfungsi sistem ekonomi yang mengkonsentrasikan kekayaan negara di tangan segelintir orang dan memiskinkan sebagian besar rakyat.
Lebih dari itu sistem demokrasi – sekuler di Indonesia juga tidak mampu mampu bertahan melawan ganasnya watak asli Kapitalisme itu sendiri, yakni materialisme, yang menjadikan segala sesuatu hanya dinilai oleh uang, termasuk tubuh perempuan. Berbagai tindak kriminal ini hanyalah akibat alamiah dari watak falsafah Kapitalisme sendiri. Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang tidak akan pernah berpihak pada rakyat, termasuk perempuan. Ideologi Kapitalisme terbukti sangat “berprestasi” dalam melakukan ekploitasi tubuh perempuan dalam industri entertainment, periklanan dan sebagainya, dimana semua ini akhirnya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sindikat-sindikat narkoba, perdagangan orang, termasuk perdagangan seksual yang semakin mengeksploitasi anak perempuan dalam kenistaan prostitusi.
Dua puluh juta generasi muda Muslimah di Indonesia akan memiliki nasib kisah yang berbeda 180 derajat, jika negeri ini menerapkan sistem Khilafah Islam. Karena Khilafah sangat kredibel dan telah teruji dalam waktu yang lama dalam menangani kemiskinan, sekaligus tetap menjaga kehormatan perempuan. Ini adalah sebuah sistem yang akan menerapkan secara komprehensif hukum-hukum ekonomi Islam yang ditentukan oleh Allah (Swt), yang mampu menciptakan kemakmuran ekonomi dan pemberantasan kemiskinan pada negeri-negeri yang diperintahnya. Pada saat yang sama Khilafah Islam juga akan menerapkan sistem sosial yang menjamin kemuliaan dan martabat perempuan, sistem yang akan melindungi dan mencegah perempuan jatuh dalam jurang kenistaan.
Khilafah – berbeda dengan sistem liberal- mempromosikan nilai-nilai Islam yang mewajibkan setiap warga negara memandang dan memperlakukan wanita dengan hormat dan penghargaan bukan dengan hasrat rendahan. Selain itu, Khilafah juga menerapkan dan memberlakukan secara ketat hukum-hukum yang melarang eksploitasi, seksualisasi dan bahkan fitnah terhadap perempuan. Sebagaimana Khilafah juga mengimplementasikan sistem sosial yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan sehingga melahirkan pola interaksi yang sehat yang melindungi kehormatan keduanya, sembari tetap menjamin tetap bisa aktif dalam kehidupan publik. Semua ini menciptakan sebuah masyarakat yang mampu menjaga martabat perempuan dan melindungi mereka dari jurang penderitaan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)
Fika Monika Komara
Women Section – Southeast Asia
Central Media Office, Hizbut Tahrir
Di tengah dakwaan mengerikan pada kondisi sosial Indonesia, pada saat yang sama pemimpinnya justru tengah dihujani pujian sebagai kekuatan ekonomi baru Asia. Jika selama ini dunia hanya memperbincangkan kekuatan ekonomi China dan India, kini Indonesia mulai disebut-sebut sebagai raksasa baru di Asia. Hal ini terlihat jelas saat SBY membawa pulang tiga penghargaan sekaligus usai lawatannya ke New York akhir September lalu, dalam rangka menghadiri Sidang Majelis Umum PBB. Banyak pakar menilai Indonesia tengah mengalami super boom pertumbuhan ekonomi dan memiliki kemampuan luar biasa menghadapi krisis ekonomi global, dengan kata lain Indonesia dianggap potensial ‘membantu’ negara-negara Barat keluar dari krisis ekonomi global.
Ini adalah paradoks yang mengerikan bagi Indonesia yang dianggap sebagai model cemerlang demokrasi dan berhasil membangun ekonominya sebagai kekuatan ekonomi baru Asia, namun pada faktanya justru gagal menyelamatkan generasi mudanya dari belenggu kemiskinan dan justru semakin menjerumuskannya ke jurang kenistaan prostitusi anak yang keji.
Poin-poin di bawah ini merupakan catatan penting menanggapi paradoks sosial ekonomi di Indonesia :
Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi baru, tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia sama sekali tidak mampu menuntaskan persoalan sosial dan kemiskinan pada masyarakatnya. Realitas tingginya angka prostitusi anak ini adalah bukti yang tidak terbantahkan, menguak sesatnya asumsi ala Kapitalis bahwa “ekonomi yang tumbuh memberi ruang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat”. Alih-alih mensejahterakan, sistem ekonomi Kapitalis yang diadopsi Indonesia justru membuat kesenjangan makin lebar dan kemiskinan semakin menggurita. Banyak remaja perempuan akhirnya dengan mudah terperangkap jebakan prostitusi hanya karena tergiur dengan tawaran pekerjaan, bahkan para orangtuanya pun turut mendorong anak-anak gadisnya bekerja semua ini akibat tekanan ekonomi dan kesejahteraan keluarga.
Senada dengan itu, sebagai negara demokrasi Indonesia juga terbukti mandul dalam melindungi anak dari kejahatan eksploitasi. Dua Undang-undang yang sudah dimiliki Indonesia – yakni UU Perlindungan Anak dan UU UU Tindak Pidana Perdagangan Orang – yang lahir dari rahim demokrasi negeri ini juga terbukti gagal dalam melindungi hak-hak Anak yang sejatinya merupakan generasi harapan bangsa. Biaya yang besar dan waktu yang lama dalam menyusun kedua UU ini tidak mampu membayar kerusakan generasi akibat penistaan dan belenggu kemiskinan. Wajar, karena setiap kelahiran undang-undang pro rakyat di negeri ini sudah bisa dipastikan hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil di bawah gurita sistem politik yang berpihak untuk kepentingan elit politik, dan juga tidak berkutik di bawah disfungsi sistem ekonomi yang mengkonsentrasikan kekayaan negara di tangan segelintir orang dan memiskinkan sebagian besar rakyat.
Lebih dari itu sistem demokrasi – sekuler di Indonesia juga tidak mampu mampu bertahan melawan ganasnya watak asli Kapitalisme itu sendiri, yakni materialisme, yang menjadikan segala sesuatu hanya dinilai oleh uang, termasuk tubuh perempuan. Berbagai tindak kriminal ini hanyalah akibat alamiah dari watak falsafah Kapitalisme sendiri. Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang tidak akan pernah berpihak pada rakyat, termasuk perempuan. Ideologi Kapitalisme terbukti sangat “berprestasi” dalam melakukan ekploitasi tubuh perempuan dalam industri entertainment, periklanan dan sebagainya, dimana semua ini akhirnya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sindikat-sindikat narkoba, perdagangan orang, termasuk perdagangan seksual yang semakin mengeksploitasi anak perempuan dalam kenistaan prostitusi.
Dua puluh juta generasi muda Muslimah di Indonesia akan memiliki nasib kisah yang berbeda 180 derajat, jika negeri ini menerapkan sistem Khilafah Islam. Karena Khilafah sangat kredibel dan telah teruji dalam waktu yang lama dalam menangani kemiskinan, sekaligus tetap menjaga kehormatan perempuan. Ini adalah sebuah sistem yang akan menerapkan secara komprehensif hukum-hukum ekonomi Islam yang ditentukan oleh Allah (Swt), yang mampu menciptakan kemakmuran ekonomi dan pemberantasan kemiskinan pada negeri-negeri yang diperintahnya. Pada saat yang sama Khilafah Islam juga akan menerapkan sistem sosial yang menjamin kemuliaan dan martabat perempuan, sistem yang akan melindungi dan mencegah perempuan jatuh dalam jurang kenistaan.
Khilafah – berbeda dengan sistem liberal- mempromosikan nilai-nilai Islam yang mewajibkan setiap warga negara memandang dan memperlakukan wanita dengan hormat dan penghargaan bukan dengan hasrat rendahan. Selain itu, Khilafah juga menerapkan dan memberlakukan secara ketat hukum-hukum yang melarang eksploitasi, seksualisasi dan bahkan fitnah terhadap perempuan. Sebagaimana Khilafah juga mengimplementasikan sistem sosial yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan sehingga melahirkan pola interaksi yang sehat yang melindungi kehormatan keduanya, sembari tetap menjamin tetap bisa aktif dalam kehidupan publik. Semua ini menciptakan sebuah masyarakat yang mampu menjaga martabat perempuan dan melindungi mereka dari jurang penderitaan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)
Fika Monika Komara
Women Section – Southeast Asia
Central Media Office, Hizbut Tahrir