blog.resistnews.web.id - DI
TENGAH kondisi ekonomi dunia yang melesu, Indonesia mencatat
pertumbuhan ekonomi positif. Pada triwulan kedua tahun ini, pertumbuhan
ekonomi mencapai 6,4%.
Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I 2012 tumbuh 6,3%. Pertumbuhan tersebut menggembirakan karena di saat perekonomian global meriang, makroekonomi Indonesia terbukti tetap tangguh.
Wajar jika pemerintah bertepuk dada, demikian pula seharusnya seluruh masyarakat bangsa ini. Ironisnya, kegembiraan itu ternyata bukan milik semua rakyat bangsa ini.
Hal itu disebabkan pertumbuhan tidak punya akselerasi dalam mengatasi problem sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan.
Kemiskinan masih berputar-putar pada angka yang itu-itu saja. Pada Maret 2012, jumlah warga miskin di Indonesia masih sebesar 29,13 juta jiwa atau 11,96% dari total penduduk. Angka itu hanya turun tipis 0,53% ketimbang jumlah penduduk miskin pada Maret tahun sebelumnya.
Ketimpangan pendapatan pun melebar sebagaimana tecermin dari rasio Gini yang menjadi alat ukur ketimpangan pendapatan. Pada 2002, rasio Gini baru 0,32 dan melesat menjadi 0,41 pada 2011.
Tidak berlebihan kalau disebut kue pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang. Mereka yang miskin tetap miskin atau jangan-jangan justru bertambah miskin.
Tragedi Markiah, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, yang nekat menjemput kematian bersama buah hatinya dengan cara menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor, pada awal Juli lalu, merupakan salah satu gambaran betapa sudah membelitnya kemiskinan di masyarakat jelata.
Fakta kehidupan setiap hari itulah yang sepantasnya menjadi kepedulian pemerintah, bukan melulu yang di atas kertas.
Menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif memang selayaknya menjadi prioritas, tetapi juga jangan hanya berpatokan pada angka dan target. Kalau cuma angka dan target pertumbuhan yang dikejar, kualitas bakal terpinggirkan. Berikutnya, pertumbuhan hanya menjadi macan kertas, tidak punya gaung bagi rakyat.
Pemerintah sudah sepatutnya mulai mengarahkan kerja keras mereka untuk menyelesaikan problem sosial yang ada di masyarakat. Manfaatkan momentum positif gemilangnya ekonomi Indonesia untuk menurunkan jumlah orang miskin.
Pemerintah jangan cuma mengejar prestise sebagai negara tangguh yang tahan krisis di mata dunia kalau masih banyak mata rakyat yang menangis karena tertindas oleh kepapaan.
Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I 2012 tumbuh 6,3%. Pertumbuhan tersebut menggembirakan karena di saat perekonomian global meriang, makroekonomi Indonesia terbukti tetap tangguh.
Wajar jika pemerintah bertepuk dada, demikian pula seharusnya seluruh masyarakat bangsa ini. Ironisnya, kegembiraan itu ternyata bukan milik semua rakyat bangsa ini.
Hal itu disebabkan pertumbuhan tidak punya akselerasi dalam mengatasi problem sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan.
Kemiskinan masih berputar-putar pada angka yang itu-itu saja. Pada Maret 2012, jumlah warga miskin di Indonesia masih sebesar 29,13 juta jiwa atau 11,96% dari total penduduk. Angka itu hanya turun tipis 0,53% ketimbang jumlah penduduk miskin pada Maret tahun sebelumnya.
Ketimpangan pendapatan pun melebar sebagaimana tecermin dari rasio Gini yang menjadi alat ukur ketimpangan pendapatan. Pada 2002, rasio Gini baru 0,32 dan melesat menjadi 0,41 pada 2011.
Tidak berlebihan kalau disebut kue pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang. Mereka yang miskin tetap miskin atau jangan-jangan justru bertambah miskin.
Tragedi Markiah, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, yang nekat menjemput kematian bersama buah hatinya dengan cara menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor, pada awal Juli lalu, merupakan salah satu gambaran betapa sudah membelitnya kemiskinan di masyarakat jelata.
Fakta kehidupan setiap hari itulah yang sepantasnya menjadi kepedulian pemerintah, bukan melulu yang di atas kertas.
Menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif memang selayaknya menjadi prioritas, tetapi juga jangan hanya berpatokan pada angka dan target. Kalau cuma angka dan target pertumbuhan yang dikejar, kualitas bakal terpinggirkan. Berikutnya, pertumbuhan hanya menjadi macan kertas, tidak punya gaung bagi rakyat.
Pemerintah sudah sepatutnya mulai mengarahkan kerja keras mereka untuk menyelesaikan problem sosial yang ada di masyarakat. Manfaatkan momentum positif gemilangnya ekonomi Indonesia untuk menurunkan jumlah orang miskin.
Pemerintah jangan cuma mengejar prestise sebagai negara tangguh yang tahan krisis di mata dunia kalau masih banyak mata rakyat yang menangis karena tertindas oleh kepapaan.
(mediaindonesia.online/ Kamis, 09 Agustus 2012 00:01 WIB)