blog.resistnews.web.id - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1433 H jatuh
pada hari Ahad, 19 Agustus 2012. Penetapan tersebut merupakan hasil
hisab wujudul hilal yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah.
"Pada tanggal 19 Agustus hari Ahad Kliwon itu kami menginstruksikan kepada warga Muhammadiyah dan mengajak umat Islam umumnya untuk menunaikan shalat Idul Fitri," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr H. Agung Danarto kepada wartawan di kantor Jl Cik Ditiro Yogyakarta, beberapa waktu lalu (10/8/2012).
Agung mengatakan dasar perhitungan Muhammadiyah bahwa ijtimak jelang Syawal 1433 H terjadi pada hari Jumat Pon 17 Agustus 2012 pukul 22:55:50 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenamnya matahari di Yogyakarta, -7 derajat 48' = 110 derajat 21' BT adalah -04 derajat 37' 51" hilal belum wujud.
"Di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenamnya matahari tersebut bulan berada di bawah ufuk," kata Agung didampingi Ketua dan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Prof Dr Syamsul Anwar dan Oman Fathurohman.
Syamsul menambahkan penggunaan metode hisab untuk menentukan awal bulan Kamariah terutama awal puasa, 1 Syawal dan Idul Adha merupakan salah satu wujud apresiasi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan khususnya ilmu falak dan ilmu hisab.
Hisab lebih menjamin kepastian dan akurasinya dapat dipertanggungjawabkan karena batas-batasnya dapat diketahui dengan jelas. Sedangkan rukyat tidak bisa memberi kepastian.
"Untuk menentukan 1 Ramadan misalnya, harus menunggu H-1. Namun dengan hisab bisa jauh-jauh hari, 1 tahun, 10 tahun hingga 100 tahun sudah diketahui. Muhammadiyah menggunakan hisab," kata Syamsul.
Syamsul menegaskan hisab merupakan salah satu upaya kontekstualisasi. Rukyat pada zaman Nabi Muhammad tidak ada masalah karena umat Islam hanya ada di Jazirah Arab. Namun saat ini umat Islam sudah menyebar dan mendunia.
Menurutnya dengan hisab kita bisa memperkecil perbedaan. Metode hisab untuk menentukan awal bulan kamariah ini ikut mendorong terwujudnya kalender Islam internasional. "Masalah pelaksanaan waktu puasa di Arafah yang selama ini belum dapat diatasi dapat segera terselesaikan," katanya.
Mengenai keputusan tidak mengikuti sidang isbat saat menentukan awal puasa, dia menambahkan hal itu merupakan keputusan sidang pleno PP Muhammadiyah tahun sebelumnya.
"Pertimbangannya praktis saja karena Muhammadiyah sudah bisa menentukan sebelumnya," pungkas Syamsul diamini Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir.(voa-islam.com/blog.resistnews.web.id)
"Pada tanggal 19 Agustus hari Ahad Kliwon itu kami menginstruksikan kepada warga Muhammadiyah dan mengajak umat Islam umumnya untuk menunaikan shalat Idul Fitri," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr H. Agung Danarto kepada wartawan di kantor Jl Cik Ditiro Yogyakarta, beberapa waktu lalu (10/8/2012).
Agung mengatakan dasar perhitungan Muhammadiyah bahwa ijtimak jelang Syawal 1433 H terjadi pada hari Jumat Pon 17 Agustus 2012 pukul 22:55:50 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenamnya matahari di Yogyakarta, -7 derajat 48' = 110 derajat 21' BT adalah -04 derajat 37' 51" hilal belum wujud.
"Di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenamnya matahari tersebut bulan berada di bawah ufuk," kata Agung didampingi Ketua dan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Prof Dr Syamsul Anwar dan Oman Fathurohman.
Syamsul menambahkan penggunaan metode hisab untuk menentukan awal bulan Kamariah terutama awal puasa, 1 Syawal dan Idul Adha merupakan salah satu wujud apresiasi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan khususnya ilmu falak dan ilmu hisab.
Hisab lebih menjamin kepastian dan akurasinya dapat dipertanggungjawabkan karena batas-batasnya dapat diketahui dengan jelas. Sedangkan rukyat tidak bisa memberi kepastian.
"Untuk menentukan 1 Ramadan misalnya, harus menunggu H-1. Namun dengan hisab bisa jauh-jauh hari, 1 tahun, 10 tahun hingga 100 tahun sudah diketahui. Muhammadiyah menggunakan hisab," kata Syamsul.
Syamsul menegaskan hisab merupakan salah satu upaya kontekstualisasi. Rukyat pada zaman Nabi Muhammad tidak ada masalah karena umat Islam hanya ada di Jazirah Arab. Namun saat ini umat Islam sudah menyebar dan mendunia.
Menurutnya dengan hisab kita bisa memperkecil perbedaan. Metode hisab untuk menentukan awal bulan kamariah ini ikut mendorong terwujudnya kalender Islam internasional. "Masalah pelaksanaan waktu puasa di Arafah yang selama ini belum dapat diatasi dapat segera terselesaikan," katanya.
Mengenai keputusan tidak mengikuti sidang isbat saat menentukan awal puasa, dia menambahkan hal itu merupakan keputusan sidang pleno PP Muhammadiyah tahun sebelumnya.
"Pertimbangannya praktis saja karena Muhammadiyah sudah bisa menentukan sebelumnya," pungkas Syamsul diamini Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir.(voa-islam.com/blog.resistnews.web.id)