blog.resistnews.web.id - Dewasa ini Islam memiliki banyak pandangan atau
pendapat mengenai Kepemimpinan. Wacana kepemimpinan yang berkembang ini,
di awali setelah Rasulullah Saw wafat. Masyarakat Islam pun
terbagi-bagi ke dalam banyak kelompok atau golongan. Kelompok-kelompok
Islam ini terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan
mengkafirkan.
Demikian dikatakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) H. MS.
Ka’ban dalam buka bersama (bukber) di kediamannya di kawasan Bogor, Jawa
Barat, belum lama ini (8/8/2012). Hadir dalam bukber tersebut, sejumlah
ulama dan tokoh masyarakat Bogor.
Bicara kepemimpinan dalam Islam, menurut Ka’ban, merupakan wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad Saw wafat.
“Ketika Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah dalam Islam, umat Islam terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Islam, dan siapa yang berhak atas kepemimpinan Islam,” kata Ka’ban.
Demikian pula pada abad ke-21 ini, khususnya di Indonesia. Seperti diketahui, moyoritas penduduk di negeri ini adalah beragama Islam. Kemudian muncul wacana bagaimana mencari pemimpin menurut syariah Islam. Dalam Islam, kriteria pemimpin itu harus amanah dan dapat dipercaya. “Tetapi tingkat kepercayaan tersebut juga harus dilihat dari perilaku dan keyakinanya,” kata Ka’ban.
MS.Kaban menjelaskan, kini umat Islam dihadapi oleh dua pilihan, yakni: pilihan apakan harus memilih berdasarkan suku, profesi, atau dasar pengalaman dan semua itu sah-sah saja. Seperti yang terjadi pada Pilkada DKI putaran ke-2 ini, tim sukses Jokowi misalnya, mereka menjelaskan alasan memilih Jokowi karena dia dianggap sebagai walikota yang sukses. Begitu juga dengan memilih Foke karena dasar agama Islam. Alasan itu sah-sah saja. Semua ini merupakan proses demokrasi yang ada di Indonesia.
Masjid dan Politik
Menurut Ka’ban, sesuatu dianggap SARA, adalah bila terjadi perpecahan akibat adanya provokasi. Namun, jika suatu penyampaian itu didasarkan pada Al-Quran maka tidak bisa dikatakan sebagai SARA. “Selama penyampain tersebut dilakukan di masjid tidak masalah, justru kalau kita berteriak-teriak di pasar, itu jadi persoalan,” katanya.
Terkait UU No.10 tentang partai politik yang melarang kampaye ditempat-tempat ibadah, dikatakan Ka’ban, yang salah adalah UU-nya, karena UU itu dibuat oleh orang-orang sekuler. “Di Indonesia saat ini yang memilih pemimpin berdasarkan agama sangat sedikit. Menurut mereka, memilih pemimpin berdasakan agama tidak begitu penting. Tetapi bagi saya, memilih pemimpin berdasarkan agama hukumnya wajib. Ini sebagai fundamental umat Islam untuk mencari pemimpin yang benar,” kata Ka’ban.(voa-islam.com/blog.resistnews.web.id)
Bicara kepemimpinan dalam Islam, menurut Ka’ban, merupakan wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad Saw wafat.
“Ketika Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah dalam Islam, umat Islam terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Islam, dan siapa yang berhak atas kepemimpinan Islam,” kata Ka’ban.
Demikian pula pada abad ke-21 ini, khususnya di Indonesia. Seperti diketahui, moyoritas penduduk di negeri ini adalah beragama Islam. Kemudian muncul wacana bagaimana mencari pemimpin menurut syariah Islam. Dalam Islam, kriteria pemimpin itu harus amanah dan dapat dipercaya. “Tetapi tingkat kepercayaan tersebut juga harus dilihat dari perilaku dan keyakinanya,” kata Ka’ban.
MS.Kaban menjelaskan, kini umat Islam dihadapi oleh dua pilihan, yakni: pilihan apakan harus memilih berdasarkan suku, profesi, atau dasar pengalaman dan semua itu sah-sah saja. Seperti yang terjadi pada Pilkada DKI putaran ke-2 ini, tim sukses Jokowi misalnya, mereka menjelaskan alasan memilih Jokowi karena dia dianggap sebagai walikota yang sukses. Begitu juga dengan memilih Foke karena dasar agama Islam. Alasan itu sah-sah saja. Semua ini merupakan proses demokrasi yang ada di Indonesia.
Masjid dan Politik
Menurut Ka’ban, sesuatu dianggap SARA, adalah bila terjadi perpecahan akibat adanya provokasi. Namun, jika suatu penyampaian itu didasarkan pada Al-Quran maka tidak bisa dikatakan sebagai SARA. “Selama penyampain tersebut dilakukan di masjid tidak masalah, justru kalau kita berteriak-teriak di pasar, itu jadi persoalan,” katanya.
Terkait UU No.10 tentang partai politik yang melarang kampaye ditempat-tempat ibadah, dikatakan Ka’ban, yang salah adalah UU-nya, karena UU itu dibuat oleh orang-orang sekuler. “Di Indonesia saat ini yang memilih pemimpin berdasarkan agama sangat sedikit. Menurut mereka, memilih pemimpin berdasakan agama tidak begitu penting. Tetapi bagi saya, memilih pemimpin berdasarkan agama hukumnya wajib. Ini sebagai fundamental umat Islam untuk mencari pemimpin yang benar,” kata Ka’ban.(voa-islam.com/blog.resistnews.web.id)