blog.resistnews.web.id - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa hari ini mendesak pemerintah Myanmar segera mengakui etnis Rohingya sebagai warga mereka.
Dia menambahkan pemerintah bakal terus mengikuti perkembangan konflik antar etnis di Provinsi Arakan, Myanmar.
"Kami juga mendesak agar pemerintah Myanmar menjunjung tinggi praktek hak asasi," kata Marty di Jakarta, Jumat (10/8) merdeka.com.
Menurut Marty, dia sudah beberapa kali bertemu menteri luar negeri Turki dan mereka memiliki pandangan serupa soal Rohingya. "Intinya kami ingin konflik itu segera diakhiri dan etnis Rohingya mendapat tempat di Myanmar," ujar Marty.
Setelah kudeta militer pada 1952, pemerintah Myanmar sampai saat ini enggan mengakui etnis minoritas itu sebagai warga mereka. Orang Rohingya dianggap pendatang ilegal dari Bangladesh. Tetapi Dhaka menampik tudingan dan lepas tangan soal kaum terbuang itu.
Berdasarkan catatan pemerintah Myanmar, sejak insiden kekerasan pertama kali terjadi, pertumpahan darah itu membayangi proses reformasi politik oleh Presiden Thein Sein, termasuk membebaskan ratusan tahanan politik. Selain itu, sikap tokoh oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi, mulai dipertanyakan oleh banyak pihak terkait kemelut etnis Rohingya.
Lembaga nirlaba Human Rights Watch berbasis di Kota New York, Amerika Serikat, menuding tentara Myanmar terlibat dalam pembunuhan etnis Rohingya. Selain itu, mereka dianggap melakukan pemerkosaan dan hanya diam saat suku Rakhai menyerang muslim Rohingya.
Maka dari itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menggolongkan orang Rohingya sebagai etnis minoritas paling tertindas di dunia. (arrahmah.com/blog.resistnews.web.id)
Dia menambahkan pemerintah bakal terus mengikuti perkembangan konflik antar etnis di Provinsi Arakan, Myanmar.
"Kami juga mendesak agar pemerintah Myanmar menjunjung tinggi praktek hak asasi," kata Marty di Jakarta, Jumat (10/8) merdeka.com.
Menurut Marty, dia sudah beberapa kali bertemu menteri luar negeri Turki dan mereka memiliki pandangan serupa soal Rohingya. "Intinya kami ingin konflik itu segera diakhiri dan etnis Rohingya mendapat tempat di Myanmar," ujar Marty.
Setelah kudeta militer pada 1952, pemerintah Myanmar sampai saat ini enggan mengakui etnis minoritas itu sebagai warga mereka. Orang Rohingya dianggap pendatang ilegal dari Bangladesh. Tetapi Dhaka menampik tudingan dan lepas tangan soal kaum terbuang itu.
Berdasarkan catatan pemerintah Myanmar, sejak insiden kekerasan pertama kali terjadi, pertumpahan darah itu membayangi proses reformasi politik oleh Presiden Thein Sein, termasuk membebaskan ratusan tahanan politik. Selain itu, sikap tokoh oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi, mulai dipertanyakan oleh banyak pihak terkait kemelut etnis Rohingya.
Lembaga nirlaba Human Rights Watch berbasis di Kota New York, Amerika Serikat, menuding tentara Myanmar terlibat dalam pembunuhan etnis Rohingya. Selain itu, mereka dianggap melakukan pemerkosaan dan hanya diam saat suku Rakhai menyerang muslim Rohingya.
Maka dari itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menggolongkan orang Rohingya sebagai etnis minoritas paling tertindas di dunia. (arrahmah.com/blog.resistnews.web.id)