Data sesat dan menyesatkan Sholah (2012) secara vulgar mengatakan angka yang sering dipublikasikan BPS pada berbagai media tersebut sebenarnya belum dapat mewakili angka kemiskinan sesungguhnya di Indonesia karena : Pertama, menurut BPS angka tersebut merupakan perhitungan makro dengan sampel hanya sekitar 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (http://bimakab.bps.go.id/files/miskin.pdf). Ini berarti hanya menggunakan sampel sekitar 0,1115 persen yang tentunya belum dapat mewakili sampel data secara makro di Indonesia. Kedua, itu pun dengan patokan angka kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang tidak rasional, dengan patokan Rp 230.000 per kapita penduduk per bulan. Lalu bagaimana orang yang hanya menghasilkan Rp 270.000 sebulan ? Itu kan berarti dia hanya punya Rp 9.000 sehari, apakah cukup uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya dalam sehari? Ketiga, kebutuhan pokok berupa keamanan, kesehatan dan pendidikan masih banyak ditanggung oleh warganya sendiri. Sehingga patokannya semestinya bukan rupiah (kuantitatif) namun gabungan antara kualitatif dan kuantitatif. (www.hizbut-tahrir.or.id)
Sekulerisme : biang masalah Menarik apa yang diungkapkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Pusat Rokhmat S Labib. Dalam pidato politiknya, Rokhmat mengungkapkan bahwa seluruh problematika di negeri ini termasuk kemiskinan dipicu oleh dua faktor. Satu diantaranya adalah penerapan sistem yang rusak dan bobrok.
Sistem rusak yang dimaksud adalah penerapan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) sekaligus sebagai pondasi tegaknya ekonomi kapitalisme di Indonesia. Lewat mekanisme ekonomi kapitalisme, pemerintah dengan ikhlas melego seluruh kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah kepada pihak swasta/korporasi baik asing, nasional maupun lokal. Kebijakan kapitalistik ini semakin kuat mengakar karena mendapat legitimasi oleh seabrek UU liberal semisal UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Ketanagalistrikan, UU Perkebunan, UU Minerba, dan lain-lain. Alhasil, kekayaan alam Indonesia termasuk di Provinsi Kalteng seperti tambang batu bara, emas, dan hasil perkebunan dengan mudah di kuasai (dirampok) para pengusaha/korporasi. Konklusi ini bukan isapan jempol. Buktinya, pada skala lokal Kecamatan Arut Utara, yang kaya SDA dan di kelilingi sejumlah perkebunan besar sawit, hutan tanaman industri serta tambang emas justru menjadi daerah yang paling tertinggal jika dibandingkan dengan lima kecamatan lainnya di Kabupaten Kobar. Masyarakat Pangkut harus hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur karena sumber -sumber ekonomi seperti tambang, hutan dan kebun menjadi terbatas karena sudah di kuasai oleh pihak swasta. Sementara pemerintah hanya membiarkan sembari berharap pada pajak dan belas kasih perusahaan dalam bentuk CSR yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan dari hasil mengeruk kekayaan alam. Inilah yang sering diistilah sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi bukan karena faktor budaya (malas) masyarakat. Melainkan karena pemerintah secara sistematik didukung legitimasi undang undang membatasi akses ekonomi rakyat dan sebaliknya, membuka akses tersebut seluas luasnya kepada korporasi atas nama investasi. Hasilnya, rakyat Kalteng dan Indonesia pada umumnya tak mampu menikmati kesejahteraan di tanah sendiri dan menderita secara ekonomi meski sudah merdeka lebih dari setengah abad. Petaka tidak berhenti sampai di situ. Pada level institusi, UU liberal ini telah memangkas fungsi pemerintah sebagai pelayan rakyat menjadi pengamat tanpa mampu berbuat banyak. Semuanya dikembalikan kepada mekanisme pasar bebas berbasis hukum rimba. Yang kuat menindas yang lemah. Alhasil, kehidupan menjadi semakin sempit karena kebutuhan sandang, papan dan pangan bukan lagi tanggung jawab pemerintah dan beralih kepada setiap pundak warga negara. Tak peduli rakyat kaya atau miskin, tua atau muda dan mampu atau tidak memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat. Pemerintah hanya bertugas sebagai wasit yang menjamin mekanisme pasar dan persaingan (baca : penindasan) berjalan secara bebas. Sistem kejam ini lah yang turut menjadikan Markiah dan para pendahulunya menjadi korban kemiskinan struktrul dan kehilangan semangat hidup.
Muhammad A.S
Mantan Koord Kampus Gerakan Mahasiswa Pembebasan STTL YLH Yogyakarta
Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng