Menurut Daming, dalam dialog memang harus ada agenda yang jelas tentang materi yang dibahas.
“Tetapi tidak mengarah pada suatu pretensi-pretensi yang sifatnya
memprovokasi keadaan, dengan dalih untuk perlindungan HAM,” ujarnya.
Agenda
dialog antara Kepala Divisi HAM Dinas Luar Negeri Uni Eropa Rolf Timans
dan Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti
Harkrisnowo itu secara khusus membahas tentang Ahmadiyah dan GKI Yasmin.
“Menurut
saya ini sangat tendensius, karena persoalan HAM di Indonesia ini yang
paling krusial justru menyangkut soal lahan!” ungkapnya. Bahkan dalam
statistik Komnas HAM, yang paling tinggi pelanggaran HAM-nya adalah
kinerja kepolisian, kinerja daerah, pertanahan, perkebunan,
pertambangan, dan berbagai layanan publik lainnya.
“Sedangkan
soal agama itu memang ada tetapi pada level yang terbilang kecil, dari
data statistik kita. Tapi itulah menariknya, sekaligus menjadi ironis,
karena Timans justru lebih fokus ke persoalan yang terbilang tidak
begitu makro dari data statistik kita,” ujarnya.
Daming
pun menuding, ada misi tertentu dari Eropa sehingga yang
dipermasalahkan adalah masalah GKI Yasmin dan Ahmadiyah. “Saya fikir ini
sudah ada misi-misi tertentu yang sengaja memang mereka tiupkan. Ada
kemungkinan karena pertimbangan solidaritas masyarakat Eropa yang
seagama dengan GKI Yasmin (Kristen–red),” ujarnya.
Mengingat,
GKI Yasmin memiliki banyak sekali jaringan di tingkat internasional
kemudian menggunakan jaringan-jaringan itu untuk mendesakan beberapa
agenda kepentingan mereka serta melakukan berbagai propaganda,
tergantung dengan setting yang mereka mainkan.
Sehingga
pembangunan gereja GKI Yasmin yang berbasis penipuan kepada warga
setempat tersebut— yang merupakan pelanggaran HAM pihak minoritas GKI
Yasmin kepada pihak mayoritas warga Muslim di Yasmin— diputarbalikan
oleh mereka seolah warga tidak toleran terhadap minoritas Kristen yang
ingin membangun gereja.
Seperti
halnya GKI Yasmin, Ahmadiyah pun diposisikan seolah sebagai korban,
sehingga Timans jauh-jauh dari Eropa datang untuk membela kelompok yang
mengaku Muslim tetapi meyakini ada nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW.
Daming mengingatkan, HAM, selain untuk menjaga kebebasan tetapi juga
harus menjaga kesucian agama dari penodaan dan penistaan.
“Yang
dilakukan Ahmadiyah itu penistaan, bukan kebebasan. Dan itu sudah
menjadi hukum positif yakni UU No 1 PNPS Thn 1965 dan sudah lulus uji
oleh MK. Itu berarti persoalan Ahmadiyah sesuatu yang sudah final dan
seharusnya tidak boleh lagi menjadi sebuah basis penilaian, apalagi
dilakukan oleh negara lain,” tegasnya.
Munafik
Daming pun menilai HAM yang diterapkan Barat dan juga diusuh para pembebeknya di Indonesia sangat hipokrit (munafik).
“Bukti
konkrit ambigu dan hipokrisi Barat terhadap konservasi lingkungan
sebagai bagian dari HAM adalah kinerja perusahaan Barat yang beroperasi
di Indonesia justru sebagai perusak lingkungan (Newmont), eksploitasi
kekayaan alam dan tenaga kerja (Freeport), menggusur dan merampas hak
rakyat untuk perluasan investasi (perusahaan tambang, perkebunan, dll),”
ujarnya.
Ia
menyebut , letter of intent Bank Dunia dan IMF dengan pemerintah RI
yang menghapus subsidi dan proteksi produk domestik sebagai salah satu
pelanggaran HAM pula.
Begitu
juga dengan pelestarian adat istiadat. “Yang paling parah itu misalnya,
dalam berbagai instrumen HAM disebutkan bahwa setiap peradaban manapun
wajib memelihara kelestarian adat istiadat!” paparnya.
Artinya, pihak manapun tidak boleh melakukan segala sesuatu yang merusak nilai-nilai tradisi masyarat adat.
“Tetapi
di sinilah menurut saya ambigunya, karena kalau berbicara tentang
nilai-nilai agama itu boleh dirusak (terbukti dengan pembelaannya
terhadap Ahmadiyah—red), tetapi kalau adat harus dipertahankan
nilai-nilai kesucian tradisionalnya. Tetapi kalau agama kok tidak
seperti itu pengaturannya? Boleh dirubah-rubah, boleh dirusak-rusak,
dihilangkan malah kalau boleh,” ungkapnya.
Di
situlah menurut Daming timpang dan subjektifnya, HAM yang dikembangkan
oleh Barat yang notabene penganut paham sekularisme, pluralisme dan
liberalisme (sepilis). Lantas segelintir orang di Indonesia kehilangan
daya kritisnya dengan terpedaya pesona dengan kegemerlapan peradaban
Barat.
“Sehingga
mereka akhirnya membutakan mata untuk melihat betapa amburadul dan
kacaunya jalan berfikir kaum sepilis itu seperti apa yang
direpresentasikan dari dialog Timans dan Ibu Dirjen tersebut,”
pungkasnya.[] joko prasetyo
