Di
 bidang sosial, kemunculan RUU Kesetaraaan dan Keadilan Gender (KKG) 
tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat untuk menghancurkan umat ini 
secara total dengan senjata liberalismenya tersebut. Padahal Barat yang 
sudah mempraktikkan ide-ide jender ini terbukti gagal. Ide-ide jender 
ini alih-alih memperbaiki sistem sosial masyarakat, malah menghancurkan.
 Harapan memperbaiki nasib wanita pun tak kunjung terwujud. Justru 
wanitalah yang menjadi korban utama dari ide liberal kesetaraan jender 
ini. 
Kesalahan
 utama mereka adalah dalam memandang apa yang menjadi penyebab berbagai 
persoalan yang menimpa wanita seperti penindasan terhadap wanita, 
kekerasaan di rumah tangga, upah buruh wanita yang murah, pelecehan 
seksual, dll. Kelompok feminis melihat semua persoalan perempuan muncul 
akibat dari paradigma patriarki, ketidaksetaraan jender, dan dominasi 
laki-laki. 
Padahal
 apa yang terjadi bukanlah problem yang merupakan khas perempuan dan 
tidak ada kaitannya sama sekali dengan pandangan jender. Kemiskinan 
bukan hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki. Kekerasan bukan 
hanya dialami perempuan, namun juga laki-laki. Upah buruh murah juga 
terjadi pada laki-laki. Persoalan ini bukanlah persoalan jenis kelamin, 
tetapi persoalan ‘kemanusiaan’ yang menimpa laki-laki maupun perempuan. 
Persoalan di atas muncul sebagai bentuk kegagalan sistem Kapitalisme 
menyelesaikan persoalan manusia. 
Karena
 itu, yang kita butuhkan bukanlah paradigma kesetaraan atau keadilan 
jender, namun sistem yang adil yang mampu menyelesaikan 
persoalan-persoalan manusia tanpa memandang apakah dia laki-laki atau 
perempuan. Di sinilah relevansi mengapa kita membutuhkan syariah Islam 
secara menyeluruh. Sebabnya, syariah Islam adalah sistem kehidupan untuk
 menyelesaikan persoalan manusia, laki-laki dan perempuan.
Berkaitan
 dengan kesejahteraan, Islam mewajibkan negara bertanggung jawab 
menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan 
kesehatan gratis, baik laki-laki ataupun perempuan. Siapapun yang 
melakukan kejahatan (jarimah) akan ditindak tanpa memandang jenis kelaminnya, baik di ranah domestik ataupun di luar rumah. 
Karena
 itu, dalam ideologi Islam tidak akan muncul masalah kesetaraan jender. 
Sebab, laki-laki dan wanita sama-sama hamba Allah. Mereka sama-sama 
diperintahkan hanya menyembah Allah SWT dan terikat dengan aturan-aturan Allah SWT. Saat
 menjalankan syariah Islam ini, apapun jenisnya, siapapun dia, baik 
laki-laki ataupun perempuan, akan mendapat pahala dari Allah SWT. Seruan
 ketaatan kepada Allah SWT berlaku sama (Lihat, antara lain: QS al-A’raf
 [7]: 158; (Ali ‘Imran [3]: 195). 
Dalam
 masalah keterikatan dengan syariah Islam ini, ada yang hukumnya yang 
sama untuk laki-laki maupun perempuan, ada yang khusus untuk perempuan, 
dan ada yang khusus untuk laki-laki. Kewajiban shalat, misalnya, berlaku
 sama baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kewajiban menuntut ilmu, 
kewajiban mengoreksi penguasa zalim, kewajiban untuk berdakwah, dll 
semuanya berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun, 
hukum yang berkaitan dengan haid, nifas, jelas khusus untuk wanita. 
Terdapat juga beberapa hukum yang khusus untuk laki-laki, semisal 
kewajiban shalat Jumat. Siapapun yang menja-lankan hukum Allah ini akan 
mendapat pahala. 
Laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwam), sementara posisi wanita sebagai ummu wa rabbah al-bayt
 (ibu dan pengatur rumah tangga). Meskipun berbagi tugas, semuanya 
mendapat pahala dari Allah SWT, karena sama-sama menjalankan perintah 
Allah SWT. Perbedaan fungsi ini tidak menunjukkan bahwa laki-laki lebih 
baik dari wanita atau sebaliknya. 
Kepemimpinan
 laki-laki dalam rumah tangga sesungguhnya adalah tanggung jawab, jadi 
bukan legitimasi penindasan terhadap wanita. Sebagai pemimpin. Laki-laki
 (suami) wajib mencari nafkah, melindungi keluarganya dan mendidik 
keluarganya. Sebaliknya, kalau ada pelanggaran hukum syariah oleh suami,
 seperti menyiksa istri, atau menelantarkan istri, misalnya, tetap 
merupakan kejahatan (jarimah) yang wajib dihentikan dan pelakunya wajib diberi sanksi hukum. 
Pelanggaran
 kehormatan, kekerasan domestik dan penganiayaan terhadap istri adalah 
perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk
 mencapai kedamaian melalui hubungan kemitraan antara suami dan istri.
Dalam
 hal lain, menuntut ilmu, misalnya, adalah kewajiban bagi setiap orang, 
lelaki maupun perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan Muslimah 
untuk memiliki pendidikan islami setinggi mungkin, karena merekalah yang
 nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya.
Negara
 Khilafah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan 
terbaik bagi warganegaranya. Dengan begitu, diperlukan banyak sekali 
perempuan yang berprofesi sebagai dokter, perawat dan guru untuk 
menjalankan peran dan tugas itu. 
Wanita
 pun berhak untuk memiliki sesuatu dan mengembangkan harta dengan cara 
berdagang, industri, atau pertanian. Wanita memiliki hak untuk menduduki
 salah satu jabatan dalam negara seperti urusan pendidikan, pengadilan, 
dan kedokteran. Umar bin Khatab pernah meminta Asy-Syifa binti Abdullah 
al-Makhzumiyah, seorang wanita dari kaumnya, sebagai seorang qadhi
 di sebuah pasar di Madinah. Para wanita pada masa Rasul saw. ikut 
berperan serta dalam banyak peperangan untuk melakukan pengobatan kepada
 orang-orang yang terluka dan mengatur urusan-urusan mereka (yang 
terluka).
Wanita
 juga memiliki hak untuk menjadi salah satu anggota majelis umat. 
Alasannya, Rasul saw. pun saat menghadapi suatu musi-bah, beliau 
memanggil umat Islam ke masjid baik laki-laki maupun wanita, dan beliau 
men-dengarkan pendapat mereka semuanya. Rasul saw. juga bermusyawarah 
dengan istrinya, Ummu Salamah, dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Walhasil, tudingan tentang perlakukan buruk Islam terhadap wanita adalah keliru dan sering merupakan propaganda belaka. [Farid Wadjdi]
 
