Seperti
yang diberitakan Republika online (23/4) Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) mencatat hingga 2012 ada 173 kepala daerah yang tersangkut
berbagai kasus korupsi. Para kepala daerah itu tersangkut dengan
berbagai status yang melekat pada mereka, mulai dari saksi, tersangka,
terdakwa, hingga terpidana.
Dilansir
dari situs www.setkab.go.id disebutkan di Pulau Sumatera saja ada tujuh
gubernur yang tersangkut kasus korupsi. Di antaranya yaitu Gubernur
Aceh Abdullah Puteh, Gubernur Sumbar Zaenal Bakar yang sempat menjadi
tersangka kasus korupsi APBD 2002; Gubernur Sumut Syamsul Arifin (kasus
APBD Langkat), Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin (kasus dana
PPB/BPHTB).
Anggapan
bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik,
ternyata bohong besar. Di tanah air, merebaknya demokrasi justru
menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi di alam
demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah,
parlemen/wakil rakyat, dan swasta.
Ledakan
korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga di Amerika, Eropa,
Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah
matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para
pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu.
Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa
membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.
Solusi Islam
Ketika
ditanya bagaimana solusi korupsi di Indonesia, jubir HTI dengan tegas
menyatakan harus kembali ke Islam. Menurut Ismail Yusanto paling tidak
ada tiga langkah yang perlu dilakukan berdasarkan syariah Islam.
Pertama, teladan dari pemimpin. Teladan itu tidak ada. Korupsi itu kan
sebenarnya menyangkut prilaku, sedangkan prilaku sangat terkait dengan
kebiasaan, kebiasaan ditentukan oleh lingkungan. Dalam budaya
patrialistik seperti di Indonesia ini, lingkungan itu dipengaruhi oleh
teladan pimpinan.
Teladan
yang ada sekarang ini justru pimpinan yang mengajari korupsi. Dirjen
korup karena menterinya korup, menteri korup karena tahu presidennya
korup, begitu! Jadi sebenarnya Gayus itu hanya fenomena kecil. Tidak
mungkin Gayus itu melakukan begitu kalau dia tidak tahu atasannya
melakukan korupsi.
Kedua,
tidak ada hukuman yang setimpal. Hampir semua terpidana korupsi itu
hanya divonis tiga sampai empat tahun. Dapat remisi dan remisi jadi
dipenjaranya hanya sekitar satu tahun. Tidak ada yang dihukum mati.
Ketiga,
tidak ada pembuktian terbalik. Semua persidangan korupsi hakimnya yang
harus membuktikan bahwa secara materiil yang bersangkutan korupsi. Lha,
mana ada sekarang koruptor yang meninggalkan jejak! Sekarang ini kan
bukti transfer tidak ada, cek tidak ada, semuanya itu kontan dari tangan
ke tangan. Kalau perlu penyelesaiannya dilakukan di luar negeri.
Tetapi
kalau pembuktian terbalik itu bisa dilakukan, jadi bukan hakim lagi
yang harus membuktikan, tetapi yang bersangkutan harus dapat membuktikan
bahwa harta yang didapatnya itu diperoleh dengan cara yang halal.
Menurutnya tiga
poin ini yang justru tidak dilakukan. Bahkan pasal pembuktian terbalik
dihapus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Siapa yang menghapus?
Anggota DPR. Mengapa anggota DPR menghapus? Karena anggota DPR juga
takut kalau delik dalam pasal tersebut kena ke dirinya. Itu
berarti menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas korupsi kan?
Pemerintah diam saja melihat kelakukan DPR seperti itu. Karena
pemerintah juga tahu kalau ada pasal pembuktian terbalik dirinya juga
kena. (AF/HTI-Press)