Oleh Kholda Naajiyah
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Sebut saja namanya Saras (16), siswi SMA swasta di Surabaya yang terjerumus pelacuran. “Semua berawal ketika ibu saya meninggal dan ayah saya menikah lagi. Sejak saat itu, saya jarang mendapatkan perhatian dari ayah dan hampir tidak pernah mendapatkan uang jajan,” katanya.
Sarah yang waktu itu masih SMP memutuskan ikut kakek neneknya. Tanpa bimbingan langsung dari orang tua, pergaulan Sarah tak terkontrol. Mulailah dia berkenalan dengan rokok, minuman keras, bahkan obat-obatan terlarang. “Saya kenal teman-teman yang nakal itu pas SMP,” ungkapnya.
Permasalahan lebih pelik dia hadapi waktu duduk di bangku SMA. Sarah merasa kasihan melihat kakek-neneknya yang tak memiliki uang untuk biaya sekolah. “Kondisi itulah yang akhirnya mendorong saya jatuh ke pergaulan bebas. Saya dikenalkan oleh teman kepada pria hidung belang untuk mendapatkan uang. Sekolah juga saya tinggalkan,” katanya.
Cerita lain dituturkan Anggi (nama samaran, 17) yang saat diwawancarai sedang hamil tujuh bulan. Lagi-lagi, masalah rumah tangga yang memicunya lari ke pergaulan bebas. Kisah kelamnya berawal dari perceraian ayah dan ibunya yang sudah sama-sama memiliki calon pasangan baru. “Saya sempat ikut ayah, tetapi selalu bertengkar dengan ibu tiri. Akhirnya, saya pergi ke tempat ibu kandung,” ujarnya.
Di sana, ia mendapatkan perlakuan sama dari ayah tiri. Akhirnya, Anggi memutuskan tidak ikut siapa-siapa. Dia menerima tawaran kerja salah seorang temannya di sebuah warung di Lamongan. “Saya pikir kerja di warung cuma bikin minum dan menyiapkan makanan. Tapi, ternyata tidak,” akunya.
Dia malah dikenalkan pada dunia malam oleh teman-temannya. Dari situ dia mulai merokok, minum miras, narkoba, dan pergaulan bebas. “Awalnya, saya kaget, sering menangis, dan ingin pulang. Tetapi, teman saya terus mempengaruhi. Akhirnya, saya terjerumus ke dunia malam itu,” ungkapnya.
Ketika disinggung masalah kehamilannya, dia mengaku siap punya anak meski khawatir kesulitan untuk merawat. “Nanti saya tunjukkan ke ibu saya. Kalau tidak mau merawat, saya ingin ada orang yang mau mengadopsi anak saya ini,” tuturnya.
Kisah Angel (bukan nama sebenarnya) tak kalah mengejutkan. Dia mengaku mengenal narkoba sejak kelas IV SD. “Saat SD, saya memang sudah berteman dengan anak-anak SMA,” ucap perempuan yang sekarang duduk di bangku SMA kelas X itu.
Segala polemik hidup Angel sejatinya berawal dari lingkungan keluarga yang sangat tidak kondusif. Dia mengenal hubungan intim justru dari ulah kakak kandungnya. Orang tuanya pun memberikan label nakal terhadap Angel dan mengirimnya ke sebuah panti asuhan di Porong. “Saya tidak betah dan sempat pulang ke rumah,” katanya.
Sesampai di rumah, orang tuanya memberikan pilihan sekolah atau bekerja. Kalau pilih sekolah, dia hanya diberi uang Rp 3 juta untuk seluruh biaya sampai lulus. “Akhirnya, dengan terpaksa, saya memilih bekerja di perusahaan mebel,” katanya.
Kepada semua anak seusianya, Angel berpesan agar tidak menyia-nyiakan perhatian yang diberikan orang tua meski sangat sedikit. Dia mengatakan, di luar sangat banyak anak yang hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. “Saya tahu betul, banyak sekali anak yang sudah benar-benar kehilangan kasih sayang. Itu sangat berbahaya,” ujarnya.
Kisah-kisah pilu di atas bukan fiksi, melainkan nyata, ada di tengah-tengah kita. Mereka adalah anak-anak korban trafficking yang sedang ditangani oleh Yayasan Hot Line Surabaya dan Yayasan Hot Line Pendidikan Jawa Timur (Jawa Pos, 11/2/2012).
Masih banyak cerita pilu di kalangan anak-anak seperti mereka yang tidak terekspose. Ya, dunia anak saat ini begitu dekatnya dengan perzinahan, seks bebas dan bahkan pelacuran. Pertanyaannya, ada apa dengan para orangtua? Ke mana saja mereka?
Korban Broken Home
Bila dicermati, mayoritas anak-anak di atas berasal dari keluarga broken home. Broken home, yakni kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua disebabkan beberapa hal. Bisa karena perceraian, sehingga anak hanya tinggal bersama satu orang tua kandung. Bahkan akibat perceraian, banyak anak yang dititipkan ke kakek-neneknya, karena orang tua tunggalnya sibuk bekerja.
Broken home bisa juga terjadi pada anak yang meski orangtuanya tidak cerai, tapi terlalu sibuk. Mereka abai terhadap kebutuhan kasih sayang anak-anaknya. Terlebih di zaman teknologi saat ini, kerap menjadi alasan bagi orang tua untuk merasa tenang dan nyaman berjauhan lama dari anaknya. Padahal anak butuh kontak fisik, lebih dari sekadar suara orang tuanya. Apalagi bagi anak usia dini, ketersediaan orangtua di sisinya sangat penting.
Broken home juga terjadi pada kondisi rumah yang seperti neraka, dimana orang tua kerap bertengkar di depan anak-anak. Ini karena orang tua tidak dewasa dalam bersikap, tanpa memikirkan dampak bagi anak-anak mereka.
Akibat broken home, fungsi keluarga tidak berjalan ideal. Di antaranya Pertama, fungsi afeksi atau kasih sayang. Karena tidak mendapatkan limpahan kasih sayang, anak-anak mencari perhatian di luar rumah. Entah dari sahabat, pacar atau bahkan lelaki hidung belang.
Kedua, fungsi rekreasi. Keluarga idealnya tempat menyenangkan bagi anak, dimana ia merasakan rindu dengan kehangatannya. Keluarga harusnya menentramkan, membuat rileks dan gembira. Namun, broken home menyebabkan anak tidak betah di rumah, bahkan tempat yang paling dibenci. Akibatnya ia lari ke dunia luar yang ia anggap lebih peduli.
Ketiga, fungsi edukatif. Orangtua semestinya menjadi pendidik dan teladan bagi anak-anaknya. Broken home justru menciptakan ketidakpercayaan anak pada orangtua. Bahkan anak menjadi trauma dengan institusi pernikahan.
Tentu saja, tidak berfungsinya keluarga di atas, berdampak buruk bagi perkembangan anak. Dalam ilmu kejiwaan dikatakan, seorang broken home akan mengalami Pertama, broken heart, yakni kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan.
Kecenderungan ini membentuk si anak menjadi orang yang krisis kasih dan biasanya lari kepada hal-hal yang bersifat seksual, karena menganggap hanya seks yang memberi kepuasan dan kebahagiaan. Misalnya terjerumus seks bebas, homoseks, lesbian, jadi simpanan, tertarik dengan isteri/suami orang, dll.
Kedua, broken relation, yakni anak merasa bahwa tidak ada orang yang perlu dihargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk si anak menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal-ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain. Ia cenderung “semau gue”.
Ketiga, broken values, yakni si anak kehilangan “nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang “menyenangkan” dan yang “tidak menyenangkan”. Apa saja yang menyenangkan dilakukan dan sebaliknya.
Kondisi ini tak bisa terus menerus dibiarkan. Anak-anak adalah para calon pemimpin di masa depan. Apa jadinya jika sejak kecil kurang kasih sayang sehingga tidak termotivasi untuk berprestasi. Walhasil, generasi mendatang bisa lebih buruk dari generasi orang tua mereka.
Ujian Keluarga
Harus diakui, fakta buruk pada anak broken home adalah dampak dari egoisme orang tua. Walaupun tidak bisa disalahkan 100 persen karena ada andil si anak juga, namun orang tua memang harus berkaca. Seperti fenomena yang terjadi belakangan ini, dimana orang tua dengan mudahnya memutuskan tali perceraian tanpa memikirkan dampaknya bagi si anak.
Padahal, semestinya orang tua berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tangga. Janganlah begitu mudah mengucap kata talak hanya karena sedikit rasa jenuh dengan pasangan. Sebab ketika menikah lagi, si anak bukannya bahagia malah terasing di rumahnya sendiri dengan ayah/ibu tiri. Termasuk ketika menghadapi ujian dan cobaan, janganlah orang tua bertengkar habis-habisan di depan anak-anak.
Selain itu, orangtua masa kini, kadang juga terlalu sibuk dengan urusan mereka hingga mereka lupa bahwa mereka memiliki anak yang wajib diperhatikan. Lalu kadang mereka juga menganggap bahwa anak tidak perlu tahu masalah orang tua. Padahal adakalanya anak harus diajak bicara agar merasa berharga. Orang tua hendaknya menciptakan situasi rumah yang hangat, menentramkan dan menyenangkan bagi anak-anak. Jadikan semboyan rumahku surgaku benar-benar nyata di benak anak.
Keluarga seperti ini hanya bisa dibangun dengan pondasi Islam. Saat keluarga mendapat cobaan dan ujian, apakah masalah ekonomi, kenakalan anak, kejenuhan dalam pernikahan, dan lain lain, selalu disandarkan kepada Allah SWT. Ia yakin dengan firman Allah SWT: “Fainna ma’al usri yusro, inna ma’al usri yusro” Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” [Alam Nasyrah:5-6]
Mereka juga menyandarkan pada firman Allah SWT surat Al Baqarah: “Laa yukalli-fullahu nafsan illa wus’aha; laha makasabat wa’alaiha maktasabat” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” [Al Baqarah:286]
Karena itu, agar tidak terjerumus menjadi broken home, orang tua hendaknya memperbaharui lagi tujuan pernikahan itu sendiri, mereview kembali apa fungsi pernikahan, visi dan misinya dalam mengarahkan keluarga dan mendidik anak. Hanya dengan mengembalikan fungsi keluarga pada posisinya, anak-anak terhindar dari broken home. Selanjutnya, tidak akan ada lagi kisah-kisah pilu korban traficking atau seks bebas seperti dialami Sarah dan teman-temannya seperti di atas.(*)
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Sebut saja namanya Saras (16), siswi SMA swasta di Surabaya yang terjerumus pelacuran. “Semua berawal ketika ibu saya meninggal dan ayah saya menikah lagi. Sejak saat itu, saya jarang mendapatkan perhatian dari ayah dan hampir tidak pernah mendapatkan uang jajan,” katanya.
Sarah yang waktu itu masih SMP memutuskan ikut kakek neneknya. Tanpa bimbingan langsung dari orang tua, pergaulan Sarah tak terkontrol. Mulailah dia berkenalan dengan rokok, minuman keras, bahkan obat-obatan terlarang. “Saya kenal teman-teman yang nakal itu pas SMP,” ungkapnya.
Permasalahan lebih pelik dia hadapi waktu duduk di bangku SMA. Sarah merasa kasihan melihat kakek-neneknya yang tak memiliki uang untuk biaya sekolah. “Kondisi itulah yang akhirnya mendorong saya jatuh ke pergaulan bebas. Saya dikenalkan oleh teman kepada pria hidung belang untuk mendapatkan uang. Sekolah juga saya tinggalkan,” katanya.
Cerita lain dituturkan Anggi (nama samaran, 17) yang saat diwawancarai sedang hamil tujuh bulan. Lagi-lagi, masalah rumah tangga yang memicunya lari ke pergaulan bebas. Kisah kelamnya berawal dari perceraian ayah dan ibunya yang sudah sama-sama memiliki calon pasangan baru. “Saya sempat ikut ayah, tetapi selalu bertengkar dengan ibu tiri. Akhirnya, saya pergi ke tempat ibu kandung,” ujarnya.
Di sana, ia mendapatkan perlakuan sama dari ayah tiri. Akhirnya, Anggi memutuskan tidak ikut siapa-siapa. Dia menerima tawaran kerja salah seorang temannya di sebuah warung di Lamongan. “Saya pikir kerja di warung cuma bikin minum dan menyiapkan makanan. Tapi, ternyata tidak,” akunya.
Dia malah dikenalkan pada dunia malam oleh teman-temannya. Dari situ dia mulai merokok, minum miras, narkoba, dan pergaulan bebas. “Awalnya, saya kaget, sering menangis, dan ingin pulang. Tetapi, teman saya terus mempengaruhi. Akhirnya, saya terjerumus ke dunia malam itu,” ungkapnya.
Ketika disinggung masalah kehamilannya, dia mengaku siap punya anak meski khawatir kesulitan untuk merawat. “Nanti saya tunjukkan ke ibu saya. Kalau tidak mau merawat, saya ingin ada orang yang mau mengadopsi anak saya ini,” tuturnya.
Kisah Angel (bukan nama sebenarnya) tak kalah mengejutkan. Dia mengaku mengenal narkoba sejak kelas IV SD. “Saat SD, saya memang sudah berteman dengan anak-anak SMA,” ucap perempuan yang sekarang duduk di bangku SMA kelas X itu.
Segala polemik hidup Angel sejatinya berawal dari lingkungan keluarga yang sangat tidak kondusif. Dia mengenal hubungan intim justru dari ulah kakak kandungnya. Orang tuanya pun memberikan label nakal terhadap Angel dan mengirimnya ke sebuah panti asuhan di Porong. “Saya tidak betah dan sempat pulang ke rumah,” katanya.
Sesampai di rumah, orang tuanya memberikan pilihan sekolah atau bekerja. Kalau pilih sekolah, dia hanya diberi uang Rp 3 juta untuk seluruh biaya sampai lulus. “Akhirnya, dengan terpaksa, saya memilih bekerja di perusahaan mebel,” katanya.
Kepada semua anak seusianya, Angel berpesan agar tidak menyia-nyiakan perhatian yang diberikan orang tua meski sangat sedikit. Dia mengatakan, di luar sangat banyak anak yang hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. “Saya tahu betul, banyak sekali anak yang sudah benar-benar kehilangan kasih sayang. Itu sangat berbahaya,” ujarnya.
Kisah-kisah pilu di atas bukan fiksi, melainkan nyata, ada di tengah-tengah kita. Mereka adalah anak-anak korban trafficking yang sedang ditangani oleh Yayasan Hot Line Surabaya dan Yayasan Hot Line Pendidikan Jawa Timur (Jawa Pos, 11/2/2012).
Masih banyak cerita pilu di kalangan anak-anak seperti mereka yang tidak terekspose. Ya, dunia anak saat ini begitu dekatnya dengan perzinahan, seks bebas dan bahkan pelacuran. Pertanyaannya, ada apa dengan para orangtua? Ke mana saja mereka?
Korban Broken Home
Bila dicermati, mayoritas anak-anak di atas berasal dari keluarga broken home. Broken home, yakni kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua disebabkan beberapa hal. Bisa karena perceraian, sehingga anak hanya tinggal bersama satu orang tua kandung. Bahkan akibat perceraian, banyak anak yang dititipkan ke kakek-neneknya, karena orang tua tunggalnya sibuk bekerja.
Broken home bisa juga terjadi pada anak yang meski orangtuanya tidak cerai, tapi terlalu sibuk. Mereka abai terhadap kebutuhan kasih sayang anak-anaknya. Terlebih di zaman teknologi saat ini, kerap menjadi alasan bagi orang tua untuk merasa tenang dan nyaman berjauhan lama dari anaknya. Padahal anak butuh kontak fisik, lebih dari sekadar suara orang tuanya. Apalagi bagi anak usia dini, ketersediaan orangtua di sisinya sangat penting.
Broken home juga terjadi pada kondisi rumah yang seperti neraka, dimana orang tua kerap bertengkar di depan anak-anak. Ini karena orang tua tidak dewasa dalam bersikap, tanpa memikirkan dampak bagi anak-anak mereka.
Akibat broken home, fungsi keluarga tidak berjalan ideal. Di antaranya Pertama, fungsi afeksi atau kasih sayang. Karena tidak mendapatkan limpahan kasih sayang, anak-anak mencari perhatian di luar rumah. Entah dari sahabat, pacar atau bahkan lelaki hidung belang.
Kedua, fungsi rekreasi. Keluarga idealnya tempat menyenangkan bagi anak, dimana ia merasakan rindu dengan kehangatannya. Keluarga harusnya menentramkan, membuat rileks dan gembira. Namun, broken home menyebabkan anak tidak betah di rumah, bahkan tempat yang paling dibenci. Akibatnya ia lari ke dunia luar yang ia anggap lebih peduli.
Ketiga, fungsi edukatif. Orangtua semestinya menjadi pendidik dan teladan bagi anak-anaknya. Broken home justru menciptakan ketidakpercayaan anak pada orangtua. Bahkan anak menjadi trauma dengan institusi pernikahan.
Tentu saja, tidak berfungsinya keluarga di atas, berdampak buruk bagi perkembangan anak. Dalam ilmu kejiwaan dikatakan, seorang broken home akan mengalami Pertama, broken heart, yakni kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan.
Kecenderungan ini membentuk si anak menjadi orang yang krisis kasih dan biasanya lari kepada hal-hal yang bersifat seksual, karena menganggap hanya seks yang memberi kepuasan dan kebahagiaan. Misalnya terjerumus seks bebas, homoseks, lesbian, jadi simpanan, tertarik dengan isteri/suami orang, dll.
Kedua, broken relation, yakni anak merasa bahwa tidak ada orang yang perlu dihargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk si anak menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal-ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain. Ia cenderung “semau gue”.
Ketiga, broken values, yakni si anak kehilangan “nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang “menyenangkan” dan yang “tidak menyenangkan”. Apa saja yang menyenangkan dilakukan dan sebaliknya.
Kondisi ini tak bisa terus menerus dibiarkan. Anak-anak adalah para calon pemimpin di masa depan. Apa jadinya jika sejak kecil kurang kasih sayang sehingga tidak termotivasi untuk berprestasi. Walhasil, generasi mendatang bisa lebih buruk dari generasi orang tua mereka.
Ujian Keluarga
Harus diakui, fakta buruk pada anak broken home adalah dampak dari egoisme orang tua. Walaupun tidak bisa disalahkan 100 persen karena ada andil si anak juga, namun orang tua memang harus berkaca. Seperti fenomena yang terjadi belakangan ini, dimana orang tua dengan mudahnya memutuskan tali perceraian tanpa memikirkan dampaknya bagi si anak.
Padahal, semestinya orang tua berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tangga. Janganlah begitu mudah mengucap kata talak hanya karena sedikit rasa jenuh dengan pasangan. Sebab ketika menikah lagi, si anak bukannya bahagia malah terasing di rumahnya sendiri dengan ayah/ibu tiri. Termasuk ketika menghadapi ujian dan cobaan, janganlah orang tua bertengkar habis-habisan di depan anak-anak.
Selain itu, orangtua masa kini, kadang juga terlalu sibuk dengan urusan mereka hingga mereka lupa bahwa mereka memiliki anak yang wajib diperhatikan. Lalu kadang mereka juga menganggap bahwa anak tidak perlu tahu masalah orang tua. Padahal adakalanya anak harus diajak bicara agar merasa berharga. Orang tua hendaknya menciptakan situasi rumah yang hangat, menentramkan dan menyenangkan bagi anak-anak. Jadikan semboyan rumahku surgaku benar-benar nyata di benak anak.
Keluarga seperti ini hanya bisa dibangun dengan pondasi Islam. Saat keluarga mendapat cobaan dan ujian, apakah masalah ekonomi, kenakalan anak, kejenuhan dalam pernikahan, dan lain lain, selalu disandarkan kepada Allah SWT. Ia yakin dengan firman Allah SWT: “Fainna ma’al usri yusro, inna ma’al usri yusro” Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” [Alam Nasyrah:5-6]
Mereka juga menyandarkan pada firman Allah SWT surat Al Baqarah: “Laa yukalli-fullahu nafsan illa wus’aha; laha makasabat wa’alaiha maktasabat” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” [Al Baqarah:286]
Karena itu, agar tidak terjerumus menjadi broken home, orang tua hendaknya memperbaharui lagi tujuan pernikahan itu sendiri, mereview kembali apa fungsi pernikahan, visi dan misinya dalam mengarahkan keluarga dan mendidik anak. Hanya dengan mengembalikan fungsi keluarga pada posisinya, anak-anak terhindar dari broken home. Selanjutnya, tidak akan ada lagi kisah-kisah pilu korban traficking atau seks bebas seperti dialami Sarah dan teman-temannya seperti di atas.(*)