+ResistNews Blog - PENGAMAT Kontra-Terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengkritik tudingan BNPT terhadap 19 pesantren yang mengajarkan radikalisme. Menurutnya, parameter “radikal” yang digunakan BNPT tidak jelas.
“BNPT eloknya transparan kepada publik, terlebih khusus kepada para ulama, tentang parameter yang digunakan untuk menilai radikal atau tidaknya satu institusi pendidikan seperti pesantren,” ujarnya dalam keterangan pers kepada Islampos, Sabtu (6/2).
Harits menegaskan, agar jangan sampai hanya karena ada alumni dari pesantren tertentu kemudian tersangkut tindak pidana tertentu semisal “terorisme”, lalu digeneralisir bahwa pesantren tersebut mengajarkan “radikalisme” bahkan “terorisme”.
“Tentu ini logika yang cacat, membuat analogi general (qiyas sumuli) yang dasarnya lebih karena tendensi dan kecurigaan,” tuturnya.
Jika mau obyektif dan jujur, kata Harits, kenapa logika seperti itu tidak diterapkan pada kasus tindak pidana yang lain?
“Koruptor yang ketangkap kenapa tidak pernah dipersoalkan dari alumni mana dia kuliah. Para pembegal, penipu, pemerkosa, para pejabat zalim yang mengkhianati amanah rakyat kenapa tidak dipersoalkan dari mana mereka sekolah? Dan dipersoalkan institusi sekolahnya,” ujarnya.
Harits melihat ada paradigma cacat dari BNPT dalam memetakan persoalan terkait radikalisme dan terorisme. Paradigma tendensius, yang menurutnya, condong menempatkan umat Islam yang ideologis sebagai ancaman potensial bagi kehidupan sosial politik yang liberal dan sekuler.
“Jika BNPT tidak jelas tolak ukur dan tujuan membuat katagorisasi soal radikal dan tidaknya sebuah pesantren, maka sejatinya BNPT membuat daftar permusuhan terhadap umat Islam. Alih-alih menyelesaikan persoalan ‘terorisme’, justru yang terjadi adalah menstimulasi kemarahan dan sikap radikal makin mengkristal dari sekelompok umat Islam yang merasa dizalimi,” pungkasnya. [Islampos/ +ResistNews Blog ]
“BNPT eloknya transparan kepada publik, terlebih khusus kepada para ulama, tentang parameter yang digunakan untuk menilai radikal atau tidaknya satu institusi pendidikan seperti pesantren,” ujarnya dalam keterangan pers kepada Islampos, Sabtu (6/2).
Harits menegaskan, agar jangan sampai hanya karena ada alumni dari pesantren tertentu kemudian tersangkut tindak pidana tertentu semisal “terorisme”, lalu digeneralisir bahwa pesantren tersebut mengajarkan “radikalisme” bahkan “terorisme”.
“Tentu ini logika yang cacat, membuat analogi general (qiyas sumuli) yang dasarnya lebih karena tendensi dan kecurigaan,” tuturnya.
Jika mau obyektif dan jujur, kata Harits, kenapa logika seperti itu tidak diterapkan pada kasus tindak pidana yang lain?
“Koruptor yang ketangkap kenapa tidak pernah dipersoalkan dari alumni mana dia kuliah. Para pembegal, penipu, pemerkosa, para pejabat zalim yang mengkhianati amanah rakyat kenapa tidak dipersoalkan dari mana mereka sekolah? Dan dipersoalkan institusi sekolahnya,” ujarnya.
Harits melihat ada paradigma cacat dari BNPT dalam memetakan persoalan terkait radikalisme dan terorisme. Paradigma tendensius, yang menurutnya, condong menempatkan umat Islam yang ideologis sebagai ancaman potensial bagi kehidupan sosial politik yang liberal dan sekuler.
“Jika BNPT tidak jelas tolak ukur dan tujuan membuat katagorisasi soal radikal dan tidaknya sebuah pesantren, maka sejatinya BNPT membuat daftar permusuhan terhadap umat Islam. Alih-alih menyelesaikan persoalan ‘terorisme’, justru yang terjadi adalah menstimulasi kemarahan dan sikap radikal makin mengkristal dari sekelompok umat Islam yang merasa dizalimi,” pungkasnya. [Islampos/ +ResistNews Blog ]