Kementerian Agama Indonesia kembali menimbulkan kontroversi. Kali ini terkait dengan upaya memperbaiki materi pelajaran sejarah Rosulullah SAW di sekolah dasar dan menengah. Sebagaimana yang disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, materinya selama ini lebih didominasi sejarah peran Nabi dalam sejumlah peperangan. Yang disebut terlampau didominasi cerita-cerita perang. Rasulullah SAW lebih dikenal sebagai panglima perang, ujarnya.
Ada kecendrungan Kementerian Agama saat ini sedang menjalankan agenda-agenda penjajahan Barat. Terutama agenda deradikalisasi yang menjadi bagian dari kebijakan luar negeri amerika dalam perang melawan terorisme. Sementara sudah diketahui umum, perang melawan terorisme ala amerika, semata-mata topeng amerika untuk menjajah negeri-negeri lain, termasuk negeri Islam. Atas nama perang ini mereka membombardir negeri-negeri Islam, membunuh lebih dari 1 juta umat Islam.
Kita juga tahu, agenda perang melawan terorisme ala amerika juga menjadi alat intervensi untuk menyerang ajaran-ajaran Islam yang mulia seperti syariah Islam, Khilafah dan jihad fi sabilillah. Untuk itu digulirkan program deradikalisasi agar umat Islam jauh dari ajaran-ajaran yang mulia ini.
Tampaknya, inilah yang sedang dijalankan kementerian agama. Hal ini diakui sendiri oleh Kepala Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Masud. Ia menyatakan upaya perbaikan ini tidak lepas dari meningkatnya radikalisasi yang menjangkiti umat Islam di Indonesia. Ia tidak memungkiri kajian ulang terhadap materi sejarah Nabi Muhammad tidak terlepas dari meningkatnya radikalisasi yang menjangkiti sebagian umat Islam di Indonesia. Menurutnya, pelurusan makna harus dilakukan, misalnya makna jihad yang disalahpahami, yang selalu diidentikkan dengan perang. Padahal, maknanya luas.
Kita tahu dalam agenda perang melawan terorisme ala Barat, apa yang dimaksud dengan radikal adalah pandangan yang menginginkan syariah Islam secara totalitas dalam naungan negara Khilafah. Radikalisme juga sering dikaitkan dengan umat Islam yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Barat dengan melakukan jihad fi Sabilillah, perang di jalan Allah SWT. Untuk menghancurkan kewajibanjihad fi sabilillah yang secara syar’i tidak ada makna lain kecuali perang fisik, makna jihad pun ditarik sekadar pendekatan bahasa yang artinya sungguh-sungguh.
Sama halnya dengan isu toleransi, selama ini kerap disematkan terhadap umat Islam yang ingin menerapkan syariah Islam, tidak setuju terhadap gerakan pemurtadan yang dilakukan melalui pembangunan gereja ilegal. Umat Islam yang menentang homoseksual dan gay yang dilaknat Allah SWT sering dituding tidak toleran. Jadi isu toleransi selama ini menjadi bagian dari agenda Barat untuk menyerang umat Islam.
Harus kita ingatkan, yang dilakukan Kementerian Agama ini merupakan penghinaan terselubung terhadap sejarah Islam, termasuk terhadap peperangan yang selama ini dilakukan oleh Rasulullah. Seakan-akan hal itu salah kalau diajarkan kepada para murid. Padahal sirah Rasulullah dan tarikh Islam, memang tidak bisa dilepaskan dari perang. Inilah yang ditulis dalam kitab-kitab sirah maupun tarikh olehulama-ulama sebelumnya. Kitab-kitab sirah terkemuka seperti as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Ishaq [w. 151 H/768 M] dan as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam [w. H/ M] banyak menceritakan tentang perang. Bahkan al-Waqidi yang sangat populer dengan kitabnya, al-Maghazi, menjelaskan secara detil peperangan yang dilakukan Rosulullah SAW dan para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim. Apakah berarti itu keliru ?
Banyaknya peperangan dalam sirah dan tarikh Islam, tidak terelakkan, karena jihad fi sabilillah adalah kewajiban yang diperintahkan Allah SWT. Menyatakan penulisan sejarah Islam harus diperbaiki agar lebih humanis, toleran, sesungguhnya merupakan penghinaan terselubung terhadap perang-perang yang dilakukan oleh Rasulullah, seakan-akan hal tersebut keliru. Apalagi kalau dituding menjadi penyebab radikalisme. Na’udzubillahi min dzalik.
Kecendrungan Kementerian Agama saat rezim Jokowi ini menjadi alat untuk memuluskan agenda penjajahan Barat tentu sangat kita sayangkan. Dan ini bukan pertama kali. Sebelumnya Direktur Pendidikan dan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam, memerintahkan untuk merevisi soal pelajaran Fiqh yang memuat tentang khilafah soal mata pelajaran Fiqh pada ujian akhir semester (UAS) Madrasah Aliyah di Banten. Hal yang jelas menunjukkan sikap paranoid terhadap sistem Khilafah.
Padahal kewajiban penegakan khilafah merupakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syariah Islam. Para imam madzhab pun sepakat tentang kewajiban penegakan khilafah ini. Karena itu sudah seharusnya Kementerian Agama benar-benar menjadi ujung tombal penegak agama ini, bukan sebaliknya menjadi penghalang. Apatah lagi bekerja sama dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Allahu Akbar! [] Farid Wadjdi
Ada kecendrungan Kementerian Agama saat ini sedang menjalankan agenda-agenda penjajahan Barat. Terutama agenda deradikalisasi yang menjadi bagian dari kebijakan luar negeri amerika dalam perang melawan terorisme. Sementara sudah diketahui umum, perang melawan terorisme ala amerika, semata-mata topeng amerika untuk menjajah negeri-negeri lain, termasuk negeri Islam. Atas nama perang ini mereka membombardir negeri-negeri Islam, membunuh lebih dari 1 juta umat Islam.
Kita juga tahu, agenda perang melawan terorisme ala amerika juga menjadi alat intervensi untuk menyerang ajaran-ajaran Islam yang mulia seperti syariah Islam, Khilafah dan jihad fi sabilillah. Untuk itu digulirkan program deradikalisasi agar umat Islam jauh dari ajaran-ajaran yang mulia ini.
Tampaknya, inilah yang sedang dijalankan kementerian agama. Hal ini diakui sendiri oleh Kepala Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Masud. Ia menyatakan upaya perbaikan ini tidak lepas dari meningkatnya radikalisasi yang menjangkiti umat Islam di Indonesia. Ia tidak memungkiri kajian ulang terhadap materi sejarah Nabi Muhammad tidak terlepas dari meningkatnya radikalisasi yang menjangkiti sebagian umat Islam di Indonesia. Menurutnya, pelurusan makna harus dilakukan, misalnya makna jihad yang disalahpahami, yang selalu diidentikkan dengan perang. Padahal, maknanya luas.
Kita tahu dalam agenda perang melawan terorisme ala Barat, apa yang dimaksud dengan radikal adalah pandangan yang menginginkan syariah Islam secara totalitas dalam naungan negara Khilafah. Radikalisme juga sering dikaitkan dengan umat Islam yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Barat dengan melakukan jihad fi Sabilillah, perang di jalan Allah SWT. Untuk menghancurkan kewajibanjihad fi sabilillah yang secara syar’i tidak ada makna lain kecuali perang fisik, makna jihad pun ditarik sekadar pendekatan bahasa yang artinya sungguh-sungguh.
Sama halnya dengan isu toleransi, selama ini kerap disematkan terhadap umat Islam yang ingin menerapkan syariah Islam, tidak setuju terhadap gerakan pemurtadan yang dilakukan melalui pembangunan gereja ilegal. Umat Islam yang menentang homoseksual dan gay yang dilaknat Allah SWT sering dituding tidak toleran. Jadi isu toleransi selama ini menjadi bagian dari agenda Barat untuk menyerang umat Islam.
Harus kita ingatkan, yang dilakukan Kementerian Agama ini merupakan penghinaan terselubung terhadap sejarah Islam, termasuk terhadap peperangan yang selama ini dilakukan oleh Rasulullah. Seakan-akan hal itu salah kalau diajarkan kepada para murid. Padahal sirah Rasulullah dan tarikh Islam, memang tidak bisa dilepaskan dari perang. Inilah yang ditulis dalam kitab-kitab sirah maupun tarikh olehulama-ulama sebelumnya. Kitab-kitab sirah terkemuka seperti as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Ishaq [w. 151 H/768 M] dan as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam [w. H/ M] banyak menceritakan tentang perang. Bahkan al-Waqidi yang sangat populer dengan kitabnya, al-Maghazi, menjelaskan secara detil peperangan yang dilakukan Rosulullah SAW dan para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim. Apakah berarti itu keliru ?
Banyaknya peperangan dalam sirah dan tarikh Islam, tidak terelakkan, karena jihad fi sabilillah adalah kewajiban yang diperintahkan Allah SWT. Menyatakan penulisan sejarah Islam harus diperbaiki agar lebih humanis, toleran, sesungguhnya merupakan penghinaan terselubung terhadap perang-perang yang dilakukan oleh Rasulullah, seakan-akan hal tersebut keliru. Apalagi kalau dituding menjadi penyebab radikalisme. Na’udzubillahi min dzalik.
Kecendrungan Kementerian Agama saat rezim Jokowi ini menjadi alat untuk memuluskan agenda penjajahan Barat tentu sangat kita sayangkan. Dan ini bukan pertama kali. Sebelumnya Direktur Pendidikan dan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam, memerintahkan untuk merevisi soal pelajaran Fiqh yang memuat tentang khilafah soal mata pelajaran Fiqh pada ujian akhir semester (UAS) Madrasah Aliyah di Banten. Hal yang jelas menunjukkan sikap paranoid terhadap sistem Khilafah.
Padahal kewajiban penegakan khilafah merupakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syariah Islam. Para imam madzhab pun sepakat tentang kewajiban penegakan khilafah ini. Karena itu sudah seharusnya Kementerian Agama benar-benar menjadi ujung tombal penegak agama ini, bukan sebaliknya menjadi penghalang. Apatah lagi bekerja sama dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Allahu Akbar! [] Farid Wadjdi