Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah Ta’ala yang dibebani dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum Hawa secara seimbang. Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini:
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda. Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Perbedaan mendasar ini disesuaikan dengan sejumlah hukum-hukum syariat yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Adil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan karenanya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang bukan hubungan persaingan.
Sebagaimana sebagian perempuan masih ada yang menuntut kesetaraan, namun dalam pandangan islam kesetaraan tidaklah sama dengan adil. Kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Sedangkan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan kebutuhan dan kodrat masing-masing.
Kepemimpinan.
Posisi kepemimpinan ini Allah Ta’ala tempatkan pada kaum laki-laki, bukan karena membedakan gender tapi karena laki-laki diberikan tanggung jawab untuk memperhatikan, menjaga, memelihara urusan orang-orang yang ada dibawah kepemimpinannya termasuk makanan dan pakaiannya. Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang laki-laki atas wanita itu bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan dalam arti kesewenang-wenangan, otoriteran dan tekanan.
Maka atas dasar hal tersebut seorang laki-laki bertanggung jawab penuh atas hak-hak orang-orang yang dipimpinnya, sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga ataupun pemimpin dalam ranah publik.
2. Pakaian.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab :59)
Mengapa wanita harus menutup seluruh tubuhnya (aurat) kecuali telapak tangan dan muka sedangkan laki-laki tidak?
Sebagai seorang muslim yang taat tentu saja ayat di atas menggambarkan keharusan seorang wanita menutup auratnya. Ketaatan merupakan sumber kebahagaiaan dan seseorang tidak akan merasakan nikmatya iman manakala ia enggan untuk merealisasikan atau mengaplikasikannya.
Terlepas dari itu, Allah Ta’ala memerintahkan wanita untuk berjilbab agar ia terhindar dari fitnah. Karena wanita sangan rentan dari fitnah (kerusakan) yang disebabkan keindahan tubuhnya. Jika seorang wanita berjilbab maka ia telah menghindarkan dirinya dan masyarakat di sekitarnya mengalami kerusakan moral dan dari segala bentuk kejahatan di tengah gempuran peradaban yang semakin tidak beraturan.
3.Taat pada suami.
Dalam bingkai rumah tangga, pasangan suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami sebagai pemimpin, berkewajiban menjaga istri dan anak-anaknya baik dalam urusan agama atau dunianya, menafkahi mereka dengan memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya.
Tanggung jawab suami yang tidak ringan di atas diimbangi dengan ketaatan seorang istri pada suaminya. Kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya setahap setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah dan Rasul-Nya, termasuk hak kedua orang tua. Mentaatinya dalam perkara yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri.
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan tugas masing-masing manusia dengan porsinya, bukan karena yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Ketika seorang wanita harus taat kepada suaminya, maka seorang laki-laki harus taat pada ibunya.
4. Bekerja.
Tidak ada dasarnya bahwa seorang wanita dilarang bekerja di luar rumah, karena pada dasarnya hukumnya adalah boleh. Karena ketika hidup dalam kelompok masyarakat, seorang wanita juga dibutuhkan dalam berbagai pekerjaan. Apalagi yang berkaitan dengan bidang-bidang kewanitaan, maka seorang wanita sangat dibutuhkan untuk bergelut didalamnya.
Hanya saja, kewajiban yang pertama dan utama yang sudah tidak diperselisihkan lagi adalah mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi Robbani. Wanita disiapkan untuk hal ini dan tugas agung ini semestinya tidak diabaikan oleh faktor material maupun kultural. Karena tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan peran wanita ini, ditangannyalah kelak akan lahir pejuang-pejuang kemanusiaan juga bergantung padanyalah masa depan umat.
5. Warisan.
Bahwa laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian waris daripada seorang wanita sebagimana yang tertera dalam surat An-Nisa. Ini menjadi polemik tersendiri antara pribadi wanita yang memandang harta menjadi sebuah keindahan.
Tapi tahukah mengapa Allah menjadikan syariat seperti ini? Justru disinilah letak keadilan Allah Ta’ala dan inilah jawaban atas keadilan Allah Ta’ala terhadap kaum hawa.
a. Kaum wanita harus selalu terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
b. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah.
c. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
d. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan
e. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Hampir semua harta waris laki-laki diserahkan pada wanita (istri), sedangkan bagi wanita harta waris hanya untuk dirinya sendiri kecuali ia ingin membagi dengan suami, anak, ataupun orang lain.
Dengan demikian, semua ketentuan yang telah Allah tetapkan di atas sama sekali bukan bertujuan membatasi ruang gerak para wanita, merendahkan harkat dan martabatnya, sebagaimana yang didengungkan oleh sebagian manusia. Semua itu adalah syariat Allah yang sarat dengan hikmah, sehingga terciptanya keadilan, keseimbangan dan keharmonisan atara laki-laki dan wanita, bukan hanya kesetaraan semata. Semoga Allah Ta’ala selalu membuka hati kita untuk tetap yakin pada jalan keadilan-Nya. Aamiin.*
Oleh, Aulia Izzati
(esqiel/BMB/muslimahzone.com/ +ResistNews Blog )
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda. Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Perbedaan mendasar ini disesuaikan dengan sejumlah hukum-hukum syariat yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Adil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan karenanya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang bukan hubungan persaingan.
Sebagaimana sebagian perempuan masih ada yang menuntut kesetaraan, namun dalam pandangan islam kesetaraan tidaklah sama dengan adil. Kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Sedangkan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan kebutuhan dan kodrat masing-masing.
Kepemimpinan.
Posisi kepemimpinan ini Allah Ta’ala tempatkan pada kaum laki-laki, bukan karena membedakan gender tapi karena laki-laki diberikan tanggung jawab untuk memperhatikan, menjaga, memelihara urusan orang-orang yang ada dibawah kepemimpinannya termasuk makanan dan pakaiannya. Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang laki-laki atas wanita itu bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan dalam arti kesewenang-wenangan, otoriteran dan tekanan.
Maka atas dasar hal tersebut seorang laki-laki bertanggung jawab penuh atas hak-hak orang-orang yang dipimpinnya, sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga ataupun pemimpin dalam ranah publik.
2. Pakaian.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab :59)
Mengapa wanita harus menutup seluruh tubuhnya (aurat) kecuali telapak tangan dan muka sedangkan laki-laki tidak?
Terlepas dari itu, Allah Ta’ala memerintahkan wanita untuk berjilbab agar ia terhindar dari fitnah. Karena wanita sangan rentan dari fitnah (kerusakan) yang disebabkan keindahan tubuhnya. Jika seorang wanita berjilbab maka ia telah menghindarkan dirinya dan masyarakat di sekitarnya mengalami kerusakan moral dan dari segala bentuk kejahatan di tengah gempuran peradaban yang semakin tidak beraturan.
3.Taat pada suami.
Dalam bingkai rumah tangga, pasangan suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami sebagai pemimpin, berkewajiban menjaga istri dan anak-anaknya baik dalam urusan agama atau dunianya, menafkahi mereka dengan memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya.
Tanggung jawab suami yang tidak ringan di atas diimbangi dengan ketaatan seorang istri pada suaminya. Kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya setahap setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah dan Rasul-Nya, termasuk hak kedua orang tua. Mentaatinya dalam perkara yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri.
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan tugas masing-masing manusia dengan porsinya, bukan karena yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Ketika seorang wanita harus taat kepada suaminya, maka seorang laki-laki harus taat pada ibunya.
4. Bekerja.
Tidak ada dasarnya bahwa seorang wanita dilarang bekerja di luar rumah, karena pada dasarnya hukumnya adalah boleh. Karena ketika hidup dalam kelompok masyarakat, seorang wanita juga dibutuhkan dalam berbagai pekerjaan. Apalagi yang berkaitan dengan bidang-bidang kewanitaan, maka seorang wanita sangat dibutuhkan untuk bergelut didalamnya.
Hanya saja, kewajiban yang pertama dan utama yang sudah tidak diperselisihkan lagi adalah mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi Robbani. Wanita disiapkan untuk hal ini dan tugas agung ini semestinya tidak diabaikan oleh faktor material maupun kultural. Karena tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan peran wanita ini, ditangannyalah kelak akan lahir pejuang-pejuang kemanusiaan juga bergantung padanyalah masa depan umat.
5. Warisan.
Bahwa laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian waris daripada seorang wanita sebagimana yang tertera dalam surat An-Nisa. Ini menjadi polemik tersendiri antara pribadi wanita yang memandang harta menjadi sebuah keindahan.
Tapi tahukah mengapa Allah menjadikan syariat seperti ini? Justru disinilah letak keadilan Allah Ta’ala dan inilah jawaban atas keadilan Allah Ta’ala terhadap kaum hawa.
a. Kaum wanita harus selalu terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
b. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah.
c. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
d. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan
e. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Hampir semua harta waris laki-laki diserahkan pada wanita (istri), sedangkan bagi wanita harta waris hanya untuk dirinya sendiri kecuali ia ingin membagi dengan suami, anak, ataupun orang lain.
Dengan demikian, semua ketentuan yang telah Allah tetapkan di atas sama sekali bukan bertujuan membatasi ruang gerak para wanita, merendahkan harkat dan martabatnya, sebagaimana yang didengungkan oleh sebagian manusia. Semua itu adalah syariat Allah yang sarat dengan hikmah, sehingga terciptanya keadilan, keseimbangan dan keharmonisan atara laki-laki dan wanita, bukan hanya kesetaraan semata. Semoga Allah Ta’ala selalu membuka hati kita untuk tetap yakin pada jalan keadilan-Nya. Aamiin.*
Oleh, Aulia Izzati
(esqiel/BMB/muslimahzone.com/ +ResistNews Blog )