![]() |
(Ilustrasi) Jilbab di Indonesia mengalami dinamisasi |
"Saya pernah membela teman sekolah yang diskors karena jilbab," ujar mantan menteri ini.
+ResistNews Blog - Fenomena jilbab di Indonesia mengalami dinamisasi. Ada perbedaan mendasar, antara jilbab masa lalu dengan jilbab masa kini.
Demikian diungkap Ketua Lembaga Pengkajian Keadilan dan Demokrasi Indonesia (LPKDI) periode 1999-2002 Adhyaksa Dault. Dia menuturkan, di masa sekolahnya, jilbab begitu susah dipakai kawan-kawannya.
“Dulu tahun 1983, saya membela teman-teman saya di SMA Negeri 3 Jakarta yang diskors karena pakai jilbab gitu kan, 6 orang,” kenang Adhyaksa saat bincang-bincang dengan hidayatullah.com di sebuah pesantren kawasan puncak Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini, 11 Shafar 1435 H, (13/12/2013).
Dulu, lanjutnya, jilbab memang susah sekali di Indonesia. Berbeda dengan saat ini, jilbab sudah menjadi budaya.
Bahkan saking membudayanya, menurut dia, jilbab juga dipakai untuk dansa-dansa.
“Tapi ada yang beda. Ghiroh Islam zaman dulu ama ghiroh Islam sekarang beda. Kalau zaman dulu betul-betul timbul dari hati anak-anak muda,” jelas mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) ini.
Sedangkan sekarang, lanjutnya, gairah keislaman umat Islam lebih pada tsaqofah(pengetahuan), tidak pada fikrul Islamiyah atau pemikiran keislamannya.
“Yang kita harapkan tuh justru ketika seseorang pakai jilbab tuh bukan sekedar tsaqofah, tapi fikrul Islamiyah-nya yang timbul,” harapnya.
Di sinilah, kata Adhyaksa, peran para pemimpin Islam untuk membangkitkan gairah umatnya seperti masa lalu yang disebutnya.
Meski terdapat perbedaan tersebut, yang terpenting baginya adalah hakikat dari penggunaan jilbab. Seperti halnya label-label syariat Islam lainnya.
“Kalau buat saya labelisasi itu yang penting hati dia. Hati dia dulu nih. Sama dengan jilbab,” tandas Ketua Kwarnas Pramuka yang baru terpilih ini. [hidayatullah.com/ +ResistNews Blog ]
Demikian diungkap Ketua Lembaga Pengkajian Keadilan dan Demokrasi Indonesia (LPKDI) periode 1999-2002 Adhyaksa Dault. Dia menuturkan, di masa sekolahnya, jilbab begitu susah dipakai kawan-kawannya.
“Dulu tahun 1983, saya membela teman-teman saya di SMA Negeri 3 Jakarta yang diskors karena pakai jilbab gitu kan, 6 orang,” kenang Adhyaksa saat bincang-bincang dengan hidayatullah.com di sebuah pesantren kawasan puncak Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini, 11 Shafar 1435 H, (13/12/2013).
Bahkan saking membudayanya, menurut dia, jilbab juga dipakai untuk dansa-dansa.
“Tapi ada yang beda. Ghiroh Islam zaman dulu ama ghiroh Islam sekarang beda. Kalau zaman dulu betul-betul timbul dari hati anak-anak muda,” jelas mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) ini.
Sedangkan sekarang, lanjutnya, gairah keislaman umat Islam lebih pada tsaqofah(pengetahuan), tidak pada fikrul Islamiyah atau pemikiran keislamannya.
“Yang kita harapkan tuh justru ketika seseorang pakai jilbab tuh bukan sekedar tsaqofah, tapi fikrul Islamiyah-nya yang timbul,” harapnya.
Di sinilah, kata Adhyaksa, peran para pemimpin Islam untuk membangkitkan gairah umatnya seperti masa lalu yang disebutnya.
Meski terdapat perbedaan tersebut, yang terpenting baginya adalah hakikat dari penggunaan jilbab. Seperti halnya label-label syariat Islam lainnya.
“Kalau buat saya labelisasi itu yang penting hati dia. Hati dia dulu nih. Sama dengan jilbab,” tandas Ketua Kwarnas Pramuka yang baru terpilih ini. [hidayatullah.com/ +ResistNews Blog ]