-->

Kekuatan Media dan Lautan Informasi

Oleh: Muhammad Nahar
Aktivis Sosial
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan.”
(QS. Al Maa’idah: 8)
“Kita dihargai orang karena Allah SWT masih menutupi aib dan keburukan kita. Jika Allah SWT sudah membongkar aib dan keburukan kita, maka tidak mungkin orang bakal menghargai kita lagi”
KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym)

“Kini orang tidak perlu menguasai militer untuk menguasai dunia. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia!”
(Elliot Carver, Tomorrow Never Dies -1997)
Saya pernah mengikuti ceramah Prof. Quraish Shihab di sebuah masjid besar di Jakarta. Saat itu Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa “memiliki kemampuan berenang adalah baik, namun saat gelombang tsunami melanda, seorang perenang terbaik pun bisa jadi tidak mampu berbuat apa-apa”. Saya sendiri belum mampu mengingat kembali inti ceramah beliau saat namun analogi terserbut kiranya tepat dengan kondisi kita sekarang. Kita tidak lagi disuguhi informasi dalam jumlah banyak tapi sudah terlalu banyak. Informasi datang kepada kita dalam bentuk gelombang tsunami yang bergulung-gulung sehingga tidak memberi kesempatan pada kita untuk mencerna dan memahami masing-masing informasi yang datang pada kita dan mempertimbangkan kebenarannya berdasarkan logika yang sehat dan nash-nash atau dalil-dalil yang shahih. Jika menentukan benar tidaknya informasi saja kita sudah kesulitan, apalagi mendeteksi adanya kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu dalam lautan informasi tersebut.
Media massa seakan memiliki kemampuan untuk membolak-balik persepsi manusia sampai ke tingkat yang sulit dipercaya efektifitasnya. Jika seseorang, baik artis, politis atau dai kondang, sedang “disayang” oleh media, maka media-media pun akan berlomba-lomba mem-blow uppopularitasnya dan memoles citra positifnya. Namun, jika sudah “tidak diperlukan lagi”, maka media pun ramai-ramai mencampakkannya.
Masih ingat apa yang terjadi dengan seorang dai kondang asal Bandung yang kata-katanya saya kutip di awal tulisan ini? Saat beliau masih “disayang” media, citranya luar biasa positif di kalangan masyarakat terutama kaum ibu. Namun, saat beliau melakukan “kesalahan fatal” (sebenarnya tidak salah menurut syariah namun fatal menurut hukum popularitas yang dianut media massa) image beliau pun langsung meredup dan hampir tidak pernah dimunculkan lagi di media manapun, kecuali mungkin di jejaring sosial dari mereka yang masih menyukainya.
Mungkin di antara kita masih ingat kasus Ibu Pritha dengan rumah sakit Omni? Siapapun yang benar namun saat itu masyarakat sudah terlanjur antipati pada rumah sakit tersebut. Bisa dibliang, dalam persepsi masyarakat banyak, Ibu Pritha sudah menang telak. Beberapa kasus penolakan pasien yang kita dengar dan kita baca akhir-akhir ini di media massa juga semakin memojokkan dokter, rumah sakit dan institusi medis pada umumnya. Seakan merekalah pihak-pihak yang lantas harus terus menerus disalahkan dan dikambinghitamkan jika ada kejadian memilukan dan memalukan terhadap kondisi pasien.
Akhirnya seorang dokter pun bersuara, mengeluhkan kebijakan KJS dari pasangan gubernur dan wakilnya. Pak dokter juga mengeluhkan bahwa beliau dan rekan-rekan seprofesi harus memeriksa sekitar 100 pasien selama masing-masing 15 menit. Tidak hanya itu, sang dokter pun menuduh keduanya masih jadi “anak emas” media yang harus selalu ditampilkan elegan dan penuh pesona, tanpa ada cacat atau kekurangan sedikitpun. Apapun yang terjadi, Jokowi dan Ahok tidak boleh salah, yang harus disalahkan adalah rumah sakit dan dokter serta institusi kesehatan lainnya.
Walaupun bukan dokter atau praktisi medis, saya bisa memahami kelelahan para dokter dan praktisi medis menghadapi situasi di atas. Saya sendiri pernah berobat di puskesmas dekat rumah pada larut malam. Saat saya selesai diperiksa dan menerima obat yang harus diminum, saya masih melihat antrian yang cukup panjang padahal saat itu sudah hampir tengah malam. Saya sendiri tidak tahu, apakah diantara yang sudah mengantri di belakang saya itu ada yang ditolak atau diperiksa semuanya. Yang jelas, dokter yang bertugas saat itu sudah pasti bisa dibayangkan kelelahannya dan peluang membuat kesalahan bisa dibilang cukup besar. Tidak mengherankan apabila mereka sangat marah jika ada yang media seenaknya mem-bully mereka setiap kali ada kejadian memilukan menyangkut kesehatan dan bahkan nyawa seorang pasien.
Akhirnya, tanpa ingin menyalahkan pihak manapun, sudah saatnya kita bertanya pada diri kita apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki keruhnya keadaan ini. Sebab tanpa kesadaran yang kukuh dan rasa aman internal yang dalam, kita sangat mudah terombang-ambing dalam gelombang informasi dalam era digital seperti sekarang ini. Hanya mereka yang termasuk golongan ulil albab-lah yang masih bisa menjaga kewarasannya di era penuh fitnah seperti sekarang ini. Yaitu mereka yang sungguh-sungguh menafakuri indahnya keagungan penciptaan langit dan bumi serta meyakini dengan sepenuh hati bahwa tidak ada satupun ciptaanNya yang sia-sia.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [QS Ali 'Imran 3:190-191] 
[islampos.com/ +ResistNews Blog ]