Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Kita
sering mendengar ada tokoh Muslim dan Sekular menggunakan fatwa Ibn
Taimiyyah untuk menjustifikasi keabsahan penguasa Kafir, dan sistem
Kufur. Terbaru, ada tokoh Muslim, yang menyatakan pandangan serupa.
Meski ini bukan hal baru, tetapi wacana ini tetap harus didudukkan
secara obyektif dan porporsional. Karena itu, penting untuk melihat dan
mendudukkan fatwa Ibn Taimiyyah tersebut dengan jujur dan akurat,
sebagaimana yang beliau maksudkan.
Redaksi Fatwa Ibn Taimiyyah
Fatwa yang dimaksud tertuang dalam kitab beliau, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah (Juz XXVIII/121). Bunyi lengkap fatwa tersebut sebagai berikut:
(ولهذا كانت الذنوب ثلاثة أقسام: أحدها: ما فيها ظلم للناس؛ كالظلم بأخذ الأموال ومنع الحقوق؛ والحسد ونحو ذلك. والثاني: ما فيه ظلم للنفس فقط، كشرب الخمر والزنا؛ إذا لم يتعد ضررهما. والثالث: ما يجتمع فيه الأمران؛ مثل أن يأخذ المتولي أموال الناس يزنى بها ويشرب بها الخمر.… وقد
قال الله تعالى: ﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن
تُشْرِكُواْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَـناً وَأَن
تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴾ [الأعراف: 33].
وأمور
الناس تستقيم في الدنيا مع العدل الذي فيه الاشتراك في أنواع الإثم: أكثر
مما تستقيم مع الظلم في الحقوق وإن لم تشترك في إثم؛ ولهذا قيل: إن الله
يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة؛ ولا يقيم الظالمة وإن كانت مسلمة.
ويقال: الدنيا تدوم مع العدل والكفر، ولا تدوم مع الظلم والإسلام. وقد قال
النبـي صلى الله عليه وسلّم: «ليس ذنب أسرع عقوبة من البغي وقطيعة الرحم»؛
فالباغي يصرع في الدنيا وإن كان مغفوراً له مرحوماً في الآخرة، وذلك أن
العدل نظام كل شيء؛ فإذا أقيم أمر الدنيا بعدل قامت وإن لم يكن لصاحبها في
الآخرة من خلاق، ومتى لم تقم بعدل مل تقم وإن كان لصاحبها من الايمان ما
يجزى به في الآخرة).
(Karena itu, dosa bisa diklasifikasikan menjadi tiga macam: Pertama,
dosa yang mengandung kezaliman kepada manusia. Seperti kezaliman dengan
mengambil harta, menghalangi hak orang, dengki, dan sebagainya. Kedua,
dosa yang hanya mengandung kezaliman kepada diri sendiri, seperti minum
khamer dan zina, jika bahayanya tidak menimpa orang lain. Ketiga,
dosa yang mengandung kedua-duanya, seperti orang yang mendapat amanah
untuk mengurus urusan mengambil harta orang, yang harta tersebut dia
gunakan berzina, dan dia gunakan minum khamer… Allah SWT telah
berfirman:
“Katakanlah,
‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.s. al-A’raf [07]: 33)
Urusan
manusia di dunia ini akan tetap lurus bersama keadilan yang disertai
dengan berbagai macam dosa, lebih lurus ketimbang urusan tersebut
bersama kezaliman dalam hak, meski tidak disertai dengan satu pun dosa.
Karena itu, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan
negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan
menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Ada juga yang mengatakan, “Dunia akan tetap bertahan bersama keadilan dan kekufuran, dan tidak akan bertahan bersama kezaliman dan Islam.” Nabi saw telah bersabda:
“Tidak ada satu pun dosa yang lebih cepat dikenai siksa ketimbang kezaliman dan memutus hubungan kekerabatan.”
Orang
zalim di dunia akan dilawan, meski di akhirat diampuni dan mendapatkan
rahmat (belas kasih Allah). Itu karena keadilan merupakan aturan segala
hal. Jika urusan dunia ditegakkan dengan adil, maka dunia tetap akan
tegak, meski di akhirat orangnya tidak beruntung. Selama tidak
ditegakkan dengan adil, maka dunia tidak akan tegak, meski orangnya
beriman, dan di akhirat mendapatkan balasan atas keimanannya).
Jadi, pendapat yang menyatakan, “Sesungguhnya
Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir.
Dan Dia tidak akan menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu)
Islam.” Sebenarnya bukan pendapat Ibn Taimiyyah. Beliau hanya
mengutip pendapat orang lain, “Karena itu, ada yang mengatakan..” untuk
menjelaskan pandangan beliau tentang tiga kategori dan muatan dosa
manusia.
Selain
itu, penjelasan ini juga tidak menjelaskan apapun tentang sikap beliau
tentang keabsahan bentuk negara Kafir yang penting adil, atau penguasa
Kafir yang penting adil. Karena ini hanya menjelaskan tentang fakta
keadilan dan kezaliman, dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia.
Secara faktual, memang ada negara Kafir dan negara Islam. Di dunia ini,
masing-masing sama-sama berdiri. Negara Kafir yang berlaku adil kepada
rakyatnya akan tetap berdiri, sebaliknya negara Islam yang zalim kepada
rakyatnya akan runtuh. Jadi, ini hanya menjelaskan fakta keadilan dan
kezaliman, serta dampaknya dalam kehidupan umat manusia.
Keadilan-Kezaliman Menurut Islam dan Kufur
Batasan “adil” dan “zalim” sendiri, termasuk dalam kategori perkara yang muwafaqah wa munafarah li fithrati al-insan
(sejalan [untuk adil] dan bertentangan [untuk zalim] dengan fitrah
manusia). Menurut al-Iji maupun ulama’ lain, termasuk dalam kategori
perkara yang bisa diputuskan oleh akal manusia, tanpa melihat Muslim
atau Kafir, jika dilihat dari aspek sesuai dan tidaknya keadilan dan
kezaliman tersebut dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, siapapun
orangnya dan apapun agamanya pasti akan setuju dengan keadilan, dan
menolak kezaliman. Itulah fitrah manusia.
Hanya
saja, keadilan ini akan sempurna jika syariat Islam diterapkan. Karena
syariat yang diturunkan oleh Allah ini mengandung aturan yang menjamin
keadilan yang sempurna, kebijaksaan dan kebaikan yang tiada tara. Itulah
mengapa, Emperium Persia bisa bertahan ratusan tahun karena keadilan
nisbi yang diterapkan kepada rakyatnya. Namun, ketika keadilan Islam
hadir yang tercermin pada kepemimpinan ‘Umar bin al-Khatthab, kemudian
kekuasaannya meliputi wilayah Persia, maka keadilan Islam dalam semalam
bisa membuat mereka melupakan keadilan Persia ratusan tahun sebelumnya.
Jika
kita hendak membuat perbandingan, maka harus dibuat gambaran paling
sempurna, ketika syariat Islam diterapkan secara utuh, yang dengannya
keadilan tersebut benar-benar terwujud dengan sempurna. Demikian
sebaliknya, keadilan tersebut berbeda kadarnya seiring dengan perbedaan
dalam menerapkan syariatnya. Bahkan, terkadang Islam diterapkan dengan
cara yang salah, sehingga keadilannya pun tidak tampak.
Jadi,
penjelasan Ibn Taimiyyah di atas, sebenarnya dalam konteks amar makruf
dan nahi munkar, juga dalam membahas kategori dan muatan dosa yang
dilakukan oleh manusia. Penjelasan tersebut sebenarnya untuk mendorong
keadilan, mencegah kezaliman dan bagaimana dampak keduanya terhadap
kehidupan umat manusia. Dampaknya, keadilan akan menyebabkan tegak dan
kokohnya negara. Sebaliknya, kezaliman akan menyebabkan runtuh dan
rapuhnya negara. Apapun negaranya, baik negara Islam maupun Kafir.
Penjelasan
beliau juga tidak untuk menjustifikasi sistem Kufur, atau penguasa
Kafir. Karena jika dipahami demikian, tentu ini akan kontradiksi dengan
penjelasan beliau dalam kitabnya yang lain. Dalam kitab as-Siyasah as-Syar’iyyah, beliau menyatakan:
وإن انفرد السلطان عن الدين، أو الدين عن السلطان فسدت أحوال الناس، وإنما يمتاز أهل طاعة الله عن أهل معصيته، بالنية والعمل الصالح.
“Jika
kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka
keadaan manusia akan rusak. Ahli tha’at itu hanya bisa dibedakan dengan
ahli maksiat berdasarkan niat dan amal shalihnya.”
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas nyata sekali, bahwa menyatakan “tidak ada masalah,
apakah pemimpin itu Muslim atau non-Muslim, yang penting adil” jelas
keliru. Karena kriteria pemimpin harus Muslim, jelas telah dinyatakan
dalam nas al-Qur’an (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141).
Demikian
juga, pernyataan yang menyatakan, “tidak ada masalah sistem apapun,
atau bentuk negara apapun, yang penting adil. Ketimbang negara Islam,
tetapi tidak adil.” Pernyataan ini juga keliru, karena kita jelas-jelas
diperintahkan untuk menegakkan negara yang benar-benar menerapkan Islam
secara kaffah, yang dengannya keadilan akan terwujud dengan sempurna. Itulah yang disebut sebagai as-siyasah as-syar’iyyah (politik syariah) oleh Ibn Taimiyyah, atau al-Ahkam as-Syar’iyyah oleh al-Mawardi.
Jadi,
sistem Islam wajib, pemimpin Muslim juga wajib. Bukan hanya pemimpinnya
saja yang Muslim, tetapi sistemnya Kufur, atau sistemnya Islam, tetapi
pemimpinnya Kafir. Dua-duanya harus dipastikan, sama-sama Islam. Itulah
syarat minimal yang akan menjamin tegaknya keadilan. Wallahu a’lam.