Awalnya ide KKG muncul di barat sebagai reaksi perlawanan atas penindasan perempuan. Penindasan ini terjadi karena adanya pembedaan perempuan dan laki-laki. Maka, barat berpikir untuk menghilangkan penindasan, perempuan dan laki-laki harus diperlakukan sama oleh semua pihak.
Sehingga mereka pun menuntut partisipasi dalam kehidupan perempuan disamakan dengan laki-laki. Dalam prespektif gender, pandangan budaya dan agama pun ikut berperan dalam penindasan perempuan. Maka pengaturan laki-laki dan perempuan harus dijauhkan dari budaya dan agama. Sepenuhnya pengaturan ini diserahkan kepada manusia.
Tertera dalam pasal 1, “Kesetaran Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehdiupan”. Sedangkan, “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki- laki sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara”.
Dari sini bisa terlihat bahwa RUU ini memandang Islam menindas perempuan. Aturan yang diberikan Allah kepada kaum perempuan seperti peraturan seputar pakaian, larangan perempuan menjadi imam, dan ketentuan waris dianggap sebagai ketidakadilan Islam kepada kaum perempuan.
Komnas Perempuan pada September 2010 menganggap ada 189 perda diskriminatif, diantaranya adalah perda mengenai khalwat di Aceh, dan pemberantassan pelacuran di Jawa Barat. Padahal sudah jelas dalam Al Qur’an dan hadist mengenai kewajiban melakukan hal-hal tersebut walaupun tidak dijadikan perda. Maka tidak heran banyak yang menentang RUU KKG ini karena dianggap tidak mengindahkan peraturan agama yang jelas dari Tuhan Pencipta alam semesta.
RUU ini disinyalir berkaitan erat dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan UU No. 7/1984. Pada tahun 2007, sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada tanggal 23 Juli – 10 Agustus, meminta Indonesia menuangkan konvensi ke dalam hukum nasional. Maka, dengan rujukan dokumen CEDAW, Millenium Developments Goals (MDGs), dan dokumen lainnya, disusunlah RUU KKG.
Dengan keberadaan RUU KKG ini, perempuan dituntut untuk lebih banyak berkecimpung di ruang publik. Justru hal ini memberi beban kepada para perempuan. College Eropa Neuropsychopharmacology tahun 2011 menemukan bahwa perempuan depresi di Eropa naik dua kali lipat selama 40 tahun terakhir karena beban akibat kesulitan menyeimbangkan peran mengurus rumah tangga dan berkarir. Di lain pihak, dalam buku The Middle of East, Bernard Lewis mengungkapkan faktor utama dalam emansipasi perempuan adalah ekonomi. Dengan kata lain, atas nama emansipasi perempuan, tujuan yang sebenarnya adalah tersedianya tenaga kerja perempuan yang lebih murah dan menambah penghasilan pajak. Dari sini terlihat bahaya yang mengintai umat jika RUU KKG ini diberlakukan. Keharmonisan keluarga terancam, penghasil generasi penerus akan tergerus.
Padahal sebagai manusia yang beragama, sudah seharusnya menyandarkan semuanya pada aturan Tuhan yang telah menciptakan bumi dan seisinya. Bukannya menggugat agama dan mencoba membuat peraturan yang mengatur manusia. Manusia hanyalah hamba yang bersifat lemah, dan terbatas. Allahlah yang berhak membuat peraturan untuk mengatur hidup manusia karena sebagai pencipta, Ia tentu tahu yang terbaik untuk makhluknya.
Islam mengatur perempuan dalam berpakaian bukan untuk mengekang, tapi justru sebagai bentuk pemeliharaan kemuliaan dan kesucian perempuan. Islam menentukan kewajiban perempuan juga bukan untuk mendiskriminasi, namun sebagai bentuk penjagaan terhadapnya. Sudah selayaknya sebagai hamba kita bersyukur atas semua aturan yang telah Allah berikan kepada kita dengan cara mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Wallahu’alam bish shawab.
Identitas Penulis
Nama : Fatimah Azzahra
Pekerjaan : Guru