Peta Pulau Cocos, Australia (Helmi/dok)
ResistNews - Indonesia keberatan dengan rencana militer Amerika Serikat (AS) untuk menggunakan Kepulauan Cocos di Australia sebagai pangkalan militer untuk meluncurkan pesawat-pesawat pengintai AS. Kepulauan Cocos hanya berjarak 3 ribu km dari Jakarta. Kendati pemerintah Australia masih mempertimbangkan keinginan AS tersebut, Indonesia sudah resmi mengirim nota protes. Sikap Indonesia itu dijelaskan oleh Menteri Koordinator Djoko Suyanto kepada pers, di Kemenko Polhukam di Jakarta, Kamis (29/03). Nota protes itu, ujar Djoko, sudah disampaikan ke negara bersangkutan baik Australia dan AS.
“Prosedur mekanisme protes yang telah disampaikan pemerintah berdasarkan data-data yang dilaporkan dari lapangan, baik monitoring yang dilakukan secara visual dengan menggunakan pesawat maupun dengan radar. Dengan data itu kita sudah menyampaikan nota protes," jelas Djoko.
Dikatakan Djoko, pemerintah telah memantau aktivitas di kepulauan Locos tersebut. “Dan sudah ada interaksi. Masing-masing negara mempunyai upaya untuk melindungi kedaulatan negara, berhak mempunyai upaya untuk melindungi kedaulatan negara," jelas Djoko.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith menyampaikan pejabat mereka tengah mendiskusikan keinginan AS untuk menggunakan Cocos sebagai pangkalan pesawat pengintainya. Kata Smith, rencana tersebut merupakan opsi untuk jangka waktu panjang. Nantinya jika benar terlaksana, Cocos akan menjadi pengganti pangkalan AS di Samudera Hindia saat ini, Pulau Diego Garcia milik Inggris yang selama ini disewa AS dari Inggris.
Kepulauan Cocos merupakan kepulauan terpencil yang terletak di sebelah barat Samudera Hindia atau di sekitar selatan Indonesia. Surat kabar AS, The Washington Post, memberitakan, Kepulauan Cocos merupakan tempat ideal bukan cuma bagi pesawat pengintai berawak AS namun juga untuk Global Hawks, yang dikenal sebagai pesawat pengintai tanpa awak paling canggih di dunia.
Menurut Washington Post, Departemen Pertahanan AS tertarik menggunakan Kepulauan Cocos sebagai pangkalan baru bagi armada pesawat pengintai mereka supaya bisa memantau keadaan di Laut China Selatan. Wilayah itu rawan konflik karena berlokasi sangat strategis untuk jalur perdagangan dan kaya akan sumber daya alam. Sejumlah negara seperti China, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Taiwan selama ini bersitegang mengklaim batas maritim di Laut China Selatan.
(ss/rin/kap)