Soal:
Saat Timur Tengah tengah dilanda gelombang revolusi rakyat, yang dikenal dengan Arab Spring (Musim Semi Arab), dengan tuntutan penggulingan rezim diktator yang bertangan besi (militeristik), tiba-tiba muncul slogan negara sipil (civil state atau dawlah madaniyyah). Bagaimana fakta negara sipil ini, serta status hukumnya dalam pandangan Islam?
Jawab:
Pertama: Harus dipahami terlebih dulu fakta revolusi rakyat yang kini masih bergulir, bahwa revolusi ini merupakan manifestasi dari dua hal: (1) Hilangnya rasa takut umat terhadap para penguasa mereka, yang nota bene telah memerintah dengan tangan besi dan menindas mereka serta menjadi pelayan negara kafir penjajah selama beberapa dekade sebelumnya; (2) Kembalinya kesadaran dan perasaan keislaman mereka setelah selama ini Islam benar-benar dijauhkan dari kehidupan mereka. Dua hal inilah yang setidak-tidaknya mendorong rakyat di Timur Tengah untuk bangkit melakukan perlawanan rakyat, baik di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Bahrain dan terakhir Suriah.
Karena itu, fakta revolusi rakyat ini merupakan fakta nyata kebangkitan umat dari berbagai penderitaan dan penindasan yang selama ini terjadi. Dengan kata lain, ini merupakan gerakan murni perubahan, bukan rekayasa. Hanya saja, Amerika sebagai penguasa di Timur Tengah, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, tentu tidak ingin kehilangan kontrol mereka terhadap kawasan ini. Dengan segala daya dan kekuatan mereka, mereka berusaha membajak revolusi rakyat ini. Di sisi lain, umat yang menginginkan perubahan ini tidak memiliki kesadaran Islam dan politik yang sempurna sehingga dengan mudah ditipu. Contoh terbaik adalah tuntutan umat untuk menegakkan syariah dan di Khilafah di Tunisia dan Mesir, misalnya, akhirnya dikanalisasi oleh Amerika melalui penguasa militer dengan menggelar Pemilu parlemen yang dimenangkan oleh representasi Ikhawanul Muslimin dan Salafi. Namun, baik Ikhwan maupun Salafi sama-sama berhasil diperalat untuk menyalurkan kepercayaan umat, bahwa seolah-olah mereka mewakili aspirasi umat. Kemudian mereka sendiri telah dijinakkan dan tidak akan menyalurkan aspirasi umat apalagi menegakkan syariah dan Khilafah di Mesir. Sebagai gantinya, mereka disodori konsep “negara religius” atau “negara sipil”, dan sebagainya.
Kedua: Istilah “negara sipil”, civil state atau dawlah madaniyyah adalah istilah yang dibuat oleh Amerika, dan negara-negara kafir penjajah lainnya, sebagai alternatif menggantikan “negara militer”, military state atau dawlah askariyyah. Seolah-olah masalah yang menimpa mereka selama ini semata-mata karena negara militer dengan tangan besinya, atau terampasnya kebebasan bersuara (freedom of speech), atau karena negaranya tidak demokratis. Padahal masalah utama mereka adalah karena Islam tidak diterapkan dalam kehidupan mereka. Umat memahami dan menyadari itu sehingga mereka pun menuntut syariah dan Khilafah. Namun, tuntutan ini tidak dibangun dengan kesadaran Islam dan politik yang sempurna sehingga dengan mudah dibelokkan, termasuk dengan menggunakan tokoh-tokoh dan gerakan keagamaan, seperti Ikhwan dan Salafi. Mereka juga tidak mengerti, bahwa konsep “negara sipil” adalah wajah lain dari negara sekular, yang nota bene selama ini menjadi biang kerok penindasan mereka.
Karena itu, konsep “negara sipil” pada dasarnya adalah konsep negara yang menjadi antitesis dari “negara militer”. Keduanya memang berbeda dari sisi pendekatan. Jika “negara sipil” memberikan ruang dan peran kepada masyarakat untuk berpolitik dan berkuasa sehingga ada jargon vox populi vox day (suara rakyat suara tuhan), maka di dalam “negara militer” sebaliknya. Ruang dan peran masyarakat dipersempit, bahkan nyaris tidak ada, karena ruang dan peran itu telah dirampas oleh militer yang menjadi penopang kekuasaan para rezim despot.
Meski demikian, baik “negara sipil” maupun “negara militer” adalah sama-sama negara sekular yang menolak agama, tegasnya Islam, untuk dijadikan sebagai dasar negara. Keduanya juga sama-sama menolak syariah Islam untuk dijadikan sebagai hukum positif dan perundang-undangan negara. Dengan kata lain, keduanya adalah sama-sama merupakan bentuk negara yang bertentangan dengan Islam. Bahkan dengan tegas bisa disebut sebagai konsep kufur, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Jika pun keduanya sama-sama menerima Islam, maka Islam diterima hanya sebagai “nilai”, bukan karena Islamnya, yang dibangun dengan akidah dan standar hukum syariah.
Karena Islam diterima sebagai “nilai”, bukan sebagai akidah dan standar hukum syariah, maka kedudukan “nilai Islam” sama dengan “nilai-nilai” yang lain, seperti keadilan (justice), persamaan hak (equality), persamaan kedudukan (egality), kemanusiaan (humanity), kejujuran (trust), transparansi (tranparancy), akuntabilitas (acuntability) dan sebagainya. Padahal basis nilai-nilai tersebut jelas berbeda. Jika keadilan, persamaan hak, persamaan kedudukan, kemanusiaan, kejujuran, transparansi dan akuntabilitas dalam Islam basisnya adalah akidah Islam dan tolok ukurnya adalah syriah, maka bagi yang lain jelas berbeda. Ini artinya, jika “nilai-nilai” tersebut diadopsi, maka yang terjadi adalah sinkretisme, yaitu mengkompromikan basis dan tolok ukur Islam dengan basis dan tolok ukur kufur.
Ketiga: mengadopsi dan menjalankan konsep “negara sipil” dalam kehidupan bernegara, selain bertentangan dengan Islam (mukhalafah al-Islam), juga bisa disebut bid’ah dalam pengertian yang sesungguhnya. Bid’ah itu bukan hanya penyimpangan (mukhalafah), tetapi penyimpangan terhadap metode yang telah digariskan oleh Nabi saw (mukhalafatu at-thariqah al-lati rasamaha an-Nabi). Dalam bernegara, Nabi saw. telah menggariskan hukum syariah yang jelas dan tegas, yaitu tentang kewajiban menegakkan Khilafah, tentang bentuk dan sistemnya, serta menjadikan Khilafah sebagai satu-satunya metode untuk menerapkan syariah. Karena itu, ketika kelompok atau partai menyatakan hendak menerapkan syariah, dan menjalankan negara dengan syariah, kemudian tidak mengikuti metode Rasulullah saw., maka sama dengan orang yang melakukan shalat, tetapi tidak menggikuti metode Nabi saw. Di sinilah letak bid’ah dalam pengertian yang sesungguhnya. Bahkan bisa disebut sebagai ra’s al-bid’ah.
Mungkin ada yang bertanya, kalau dalam shalat kan ada hadis Nabi saw.:
فَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي [رواه البخاري]
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sedang shalat (HR al-Bukhari)Dalam hal ini, tatacara shalat (kaifiyyah as-shalat) dengan jelas telah diajarkan oleh Nabi saw. sehingga berlaku di dalamnya hukum bid’ah, jika seseorang melanggar dari ketentuan ini. Namun, dalam bernegara kan tidak ada penjelasan seperti itu?
Pernyataan seperti ini jelas keliru. Pertama: jika kita meneliti lebih jauh, sepanjang 23 tahun Nabi saw. berdakwah, mulai dari Makkah 13 tahun, dan di Madinah 10 tahun; mulai dari Negara Islam belum ada, hingga Negara Islam berdiri di Madinah, saat seluruh aktivitas Nabi saw. tercatat dengan detil dalam lembaran hadis maupun sirah, maka ini sebenarnya sudah cukup menjadi bukti, bahwa urusan ini bukanlah tanpa penjelasan. Sebaliknya, semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw. Karena itu, Nabi menyatakan:
«تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمُحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاََّ هَالِكٌ»
Aku telah meninggalkan kalian di atas jalan yang terang, malam harinya sama dengan siang harinya, yang tidak akan tersesat setelahku dari jalan itu kecuali orang yang celaka (Dikelurkan oleh Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/5).
Kedua: Nabi saw. juga dengan tegas menyatakan:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ».
Kalian harus berpegang dengan sunahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah sunah itu dengan gigi geraham (Dikelurkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan disahihkan oleh al-Hakim yang berkomentar: [Hadis sahih] dengan syarat al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini tegas tegas memerintahkan agar kita mengikuti sunnah Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin setelah Baginda; bukan hanya sunnah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali; tetapi juga para Khulafaur Rasyidin setelah mereka seperti al-Hasan bin Ali dan Umar bin Abdul Aziz, misalnya. Sunnah para khalifah itu jelas termasuk mengikuti dan berpegang teguh pada tuntunan Nabi saw. yang mereka jalankan, yaitu menjalankan syariah dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan bernegara. Hadis ini sekaligus menjadi dalil bahwa mengambil, mengikuti dan mempertahankan sunnah (tuntunan) Nabi saw. dalam masalah pemerintahan ini hukumnya wajib.
Maka dari itu, aneh jika selama ini mereka getol menganggap orang lain yang tidak mengikuti sunah Nabi saw. dalam beribadah dicap bid’ah, tetapi mereka sendiri mempraktikkan bid’ah dalam berpolitik dan bernegara. Bahkan mereka tidak tahu dan tidak merasa jika apa yang mereka lakukan itu merupakan bid’ah yang nyata. Lebih dari itu, ini bukan hanya kesesatan (dhalal), tetapi juga menyesatkan orang lain (mudhill). Karena itu, mereka tidak hanya berdosa, karena melakukan pelanggaran terhadap syariah, tetapi juga berdosa karena melakukan bid’ah. Bahkan mereka juga akan mendapatkan dosa-dosa rakyatnya yang tidak menjalankan syariah akibat dari pilihan politik mereka. Ini sebagaimana sabda Nabi saw.:
«مَنَّ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوَزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ»
Siapa saja yang menggariskan tuntunan yang buruk, maka dia pasti akan menerima hasilnya, dan hasil dari orang yang mengerjakannya hingga Hari Kiamat (Lihat, al-Marudi, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqh as-Syafi’i, III/236)
Fal ‘iyadhu bi-Llah. [KH. Hafidz Abdurrahman ]