Myo Win, seorang Muslim Burma, mengatakan dia didiskriminasi sejak ia masih kecil.
"Saya melihat bahwa sebagian besar siswa dan bahkan guru di sekolah, mereka mendiskriminasi terutama bagi orang minoritas," kata Myo kepada ABC News pada hari Ahad (18/3/2012).
"Mereka pikir kita orang asing, kita asing, walaupun nenek moyang kita lahir di Burma."
Zaw Minn Htwe, pemuda Muslim juga berbicara tentang perlakuan kejam berulang kali didapatkan tanpa alasan yang jelas hanya karena menjadi Muslim.
Muslim Myanmar, terutama dari minoritas etnis Rohingya, jumlahnya lebih dari lima persen dari jumlah penduduk bangsa itu.
Muslim Rohingya telah lama menderita diskriminasi dan perlakuan kejam oleh tangan-tangan militer yang Musyrik.
Amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 telah mencabut kewarganegaraan Muslim dan membuat mereka menjadi terdaftar sebagai imigran ilegal di tanah kelahiran mereka sendiri.
Selain Rohingya, ada keturunan India-Muslim yang tinggal di Yangon dan etnis-Cina Muslim, yang dikenal sebagai Panthay.
Hingga saat ini kaum Muslimin masih berada dalam ketakutan. Zaw minn bercerita bahwa pada tahun 2003 menjadi pengalaman terburuknya, dimana toko teh milik keluarganya diserang oleh para Biksu Buddha untuk membalas dendam karena patung-patung Buddha di Afghanistan dihancurkan. "Suatu hari mereka datang ke toko teh kami, kami harus bersembunyi di rumah kami dan kemudian mereka menghancurkannya."
"Kami belum mendengar tentang Afghanistan sebelumnya dan kami tidak tahu orang-orang Afganistan, tetapi mereka (kaum Musyrikin) menargetkan kami," tambah Zaw Minn, dikutip onislam.
"Saya sangat takut, benar-benar takut kepada orang banyak," ujar Zaw minn yang terlihat trauma akibat insiden penyerangan tersebut.
Serangan tersebut membuat Zaw Minn merasa bahwa ia dianggap sebagai warga kelas dua di tanah airnya, yang diperintah oleh militer sejak 1962 sampai tahun lalu. (siraaj/arrahmah.com)