ResistNews - Seorang pria muslim Uighur yang dituduh oleh pemerintah China sebagai dalang di balik serangan mematikan di wilayah barat jauh Xinjiang pada bulan Februari dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Rakyat di wilayah otonomi Xinjiang Uighur, Senin (26/03/2012).
Abdukerem Mamut dinyatakan bersalah karena dituduh telah menjalankan organisasi teroris, memimpin sebuah serangan teroris dan pembunuhan terencana, demikian dikutip dari Tianshannet, sebuah situs berita yang dikelola oleh kantor informasi pemerintah daerah setempat. Atas vonis tersebut, Mamut berhak mengajukan banding.
Menurut keterangan dalam persidangan, Mamut dituduh menyampaikan ceramah ekstrem di depan pengikutnya lalu menghimpun mereka ke dalam sebuah kelompok beranggotakan sembilan orang di bawah kepimpinannya sebelum kemudian melakukan serangan membabi buta di jalan pedestrian Xingfu – Yecheng, daerah dekat Kashgar di Xinjiang Selatan, pada 28 Februari sore.
Akibat serangan menggunakan pisau dan kapak itu, tiga belas orang meninggal dan 16 luka-luka. Sementara seluruh penyerang juga tewas oleh aparat polisi. Sedangkan Mamut sendiri ditangkap hidup-hidup.
Wilayah Yecheng, di Kashgar, terletak sekitar 1.500 km dari wilayah ibukota Urumqi. Wilayah ini berdekatan dengan wilayah Kashmir dan kebanyakan dihuni oleh orang Muslim Uighur.
Pada bulan Juli 2009, pernah terjadi kejadian serupa yang berakibat kerusuhan Uighur melibatkan etnis Muslim Uighur dengan suku China Han. Kerusuhan itu menewaskan sebanyak 197 orang. (lihat: Kerusuhan Xinjiang Juli 2009)
Peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh Abdukerem Mamut itu sebenarnya bukan tanpa sebab. Bila ditarik benang panjang, penyerangan yang dilakukan Mamut memiliki latar belakang sejarah yang sangat panjang. Apa yang dilakukannya sebenarnya merupakan bagian dari bentuk perjuangan dan perlawanan atas kezaliman dan penindasan pemerintah komunis China.
Sekilas Uighur
Uighur adalah suku minoritas di wilayah Xinjiang, terletak di ujung Barat dan Barat Laut China. Suku ini memiliki provinsi sendiri dengan status otonomi bernama Xinjiang-Uighur. Mayoritas suku Uighur adalah Muslim. “Uighur” sendiri memiliki arti persatuan atau persekutuan.
Kaum Muslim Uighur berbicara dengan bahasa lokal dan Turkmen. Mereka menulis dengan tulisan bahasa Arab.
Menurut Anshari Thayib, dalam buku Islam di China terbitan Amarpress, awal mula masuknya Islam ke Xinjiang yaitu ketika masyarakat Uighur berperan sebagai perantara perdagangan antara China dengan Barat.
Dalam sejarahnya, wilayah Xinjiang dulu lebih dikenal sebagai “Turkistan Timur”. Luas wilayah Turkistan Timur sendiri mencapai 1,6 juta kilometer persegi atau seperlima dari luas China.Berkat interaksi panjang dengan pedagang Arab, Persia, dan Turki itulah yang membuat masyarakat Uighur mulai mengenal dan memeluk agama Islam. Jumlah Muslim Uighur pada tahun 2011 sekitar 8 juta orang. Sedangkan jumlah umat Muslim di China pada tahun 2011 sekitar 20 juta orang dari total penduduk China yang berjumlah 1,3 Milyar.
Sejak pengambilalihan pemerintah Komunis di wilayah Turkistan pada tahun 1949, jumlah orang China Han penganut komunisme di wilayah itu meningkat dari 6,7% menjadi 40,6%, menurut angka resmi. Mereka ini yang kemudian muncul menjadi pengendali seluruh fungsi dan aktivitas politik utama di kawasan Xinjiang. Dengan dukungan pemerintah China, mereka juga memberlakukan keadaan yang mengisolasi dan membatasi pelaksanaan ritual keagamaan, dan melarang Muslim Uighur menggunakan bahasanya di sekolah.
Bermula dari kebijakan-kebijakan diskriminatif itulah mengakibatkan konflik antara Muslim Uighur dengan pemerintah China sekaligus juga konflik etnis antara suku Uighur dengan suku Han.
Pemarjinalan kaum muslim Uighur oleh pemerintah China disebabkan salah satunya karena wilayah Xinjiang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sebelum dijajah oleh pemerintah komunis China, pada tahun 1940-an, telah muncul Republik Turkistan Timur di sebagian wilayah Xinjiang yang dianggap sebagai bagian dari hak asasi mereka dalam kemerdekaan.
Namun pendirian Republik Turkistan Timur itu tidak diakui oleh pemerintah komunis China. China menganggap Xinjiang adalah bagian dari wilayahnya. Bahkan Mao Zedong langsung mengirimkan tentara ke Xinjiang pada tahun 1949. Puncaknya, pada 1 Oktober 1955, secara resmi Xinjiang dijadikan provinsi dengan status daerah otonomi mengesampingkan fakta bahwa mayoritas penduduknya saat itu adalah suku Uighur.
Penindasan China Terhadap Muslim Uighur
Disamping karena memiliki kekayakan sumberdaya alam yang melimpah mulai dari minyak, batubara, dan gas alam, letak Xinjiang yang strategis membuat penguasa China selalu menekan masyarakat Uighur dari masa ke masa. Ada berbagai macam bentuk diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap Muslim Uighur.
Pada tahun 1990, pemerintah China melarang pembangunan masjid dan madrasah. Hal ini berujung pada konflik kekerasan antara umat Muslim di Xinjiang dengan pemerintah, sebagaimana kata Anshari Thayib, dalam buku Islam di China.
Pemerintah China juga menerapkan kebijakan Srtike Hard yaitu memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, membatasi pergerakan orang, dan menahan orang yang dicurigai mendukung gerakan separatis, pada tahun 1996. (lihat: “Uighur tolak kebijakan China)
Pada bulan Juli 2009, konflik kekerasan besar terjadi dengan melibatkan antara warga suku Uighur dengan suku Han di Urumqi, ibukota Xinjiang. Penyebabnya karena suku Uighur menolak pelarangan-pelarangan dari pemerintah China di Xinjiang dan adanya perbedaan perlakuan terhadap suku Uighur dan suku Han.
Akibat peristiwa ini, 197 orang tewas, 1700 orang terluka, dan 1434 Muslim Uighur diculik serta dihukum oleh pemerintah China. (lihat: Muslim Jadi Korban Kerusuhan Di China, 156 Tewas dan 800 Luka-luka)
Perlakuan tidak adil semakin ditampakkan oleh pemerintah China ketika Beijing melarang Muslim Uighur berpuasa. Kebijakan pemerintah itu dilaksanakan dengan memaksa perusahaan-perusahaan swasta supaya menawarkan makan siang selama bulan puasa kepada karyawan Muslim Uighur. Bagi yang menolak makan diancam kehilangan bonus tahunan serta pekerjaan.
Pemerintah juga memaksa sekolah-sekolah menyediakan makan siang selama bulan puasa dan melarang siswa dibawah 18 tahun untuk berpuasa dan beribadah. Pemerintah juga memaksa restoran untuk tetap buka sepanjang hari. (lihat: Masya Allah, Muslim Uighur China Dilarang Puasa Selama Ramadhan)
Pemerintah China juga membatasi Muslim Uighur yang ingin beribadah ke masjid dan shalat Jumat berjamaah harus mendaftar dengan kartu identitas nasional mereka. Umat Muslim juga diminta menandatangani semacam surat tanggung jawab yang isinya berjanji untuk tidak berpuasa dan shalat tarawih atau kegiatan keagamaan lainnya selama bulan Ramadhan. (lihat: Pemerintah China Larang Sholat Jum'at di Xinjiang)
Pemerintah juga memasang 17.000 kamera pengintai di Urumqi untuk mengawasi setiap kegiatan Muslim Uighur.
Muslim Uighur juga sulit untuk melaksanakan ibadah haji karena tidak bisa mendapat paspor. Proses pembuatan paspor dipersulit dan pemerintah China juga membatasi biro perjalanan haji. (lihat: Muslim Uighur Dipersulit Pergi Haji)
Kesejahteraan ekonomi antara Muslim Uighur dengan suku China Han juga sangat jauh jaraknya. Suku Han mendapat gaji empat kali lebih besar daripada suku Uighur meskipun pekerjaannya sama.
Dikarenakan penindasan dan penjajahan pemerintah komunis China terhadp Muslim Uighur itulah, maka wajar muncul perlawanan dari kaum muslim Uighur. Perlawanan Muslim Uighur bukan lantas menjadikan pemerintah China lebih memperhatikan mereka, namun justru menjadi pembenar untuk semakin menindas muslim Uighur.
Amnesti Internasional mengkritik keras kebijakan pemerintah China yang menggunakan pendekatan kekerasan terhadap kaum muslim Uighur dengan berlindung di balik tuduhan terorisme. Sampai kapan akhir kezaliman pemerintah China terhadap Muslim Uighur berakhir? (muslimdaily)