Itu bukan pertanyaan yang biasa dia terima.
Dia menjawabnya dengan sebuah pertanyaan, "Maksudmu di balik jilbabku? Apa aku punya bom?"
Kedua pria tua berjaket flanel itu duduk di dalam toko kayu dan salah satu dari mereka menyeringai dengan sedikit gelisah pada mahasiswi kampus Geneseo itu. Sejak dia masuk ke dalam toko untuk membeli kepingan kayu, keadaan menjadi sedikit aneh.
"Apa kau Muslim?" pria itu bertanya dengan berani, mengklarifikasi pertanyaannya.
"Bukan," jawab mahasiswi itu. "Aku sebenarnya bukan Muslim. Tapi aku memakai jilbab Muslim sebagai bagian dari proyek sekolah."
Kedua pria itu segera menjadi tenang, saling melempar canda, ketegangan luntur dan dia menerima respon yang identik dengan yang sering dia terima sejak proyek itu dimulainya.
"Oh, syukurlah," ujar pria itu, seperti banyak orang lainnya. "Kami kira kau Muslim."
Gadis itu sebenarnya bukan Muslim tapi dia bisa melihat kenapa mereka berpikir seperti itu. Sudah satu bulan dia memakai jilbab Muslim ke kelas, tempat kerja, dan kegiatan luar kampus. Pada dasarnya, dia telah menjalani satu bulan dengan berada dalam kebudayaan kaum minoritas di AS dan di kampus Geneseo. Itu adalah eksperimen untuk Honors Capstone Experience-nya dengan sebuah proyek berjudul, "Berkah Fatima: Jilbab di AS."
Pertanyaan lain yang cukup sering diterimanya juga sangat sederhana, "Kenapa?"
Semua orang bisa melihat bahwa Amerika memiliki masalah dengan Islam saat ini. Dalam lingkup yang lebih luas, dunia memiliki masalah dengan Islam saat ini.
Menurut Pusat Penelitian Pew, Islam adalah salah satu agama dengan pertumbuhan paling cepat di dunia dan tidak ada satu orang pun tanpa motif politik di luar sana yang bersedia untuk mencari masalah dengan namanya. Banyak warga Amerika yang takut pada kaum Muslim. Citra mereka sudah cukup untuk memicu ketegangan di lingkaran paling lunak sekalipun.
Mahasiswi itu penasaran dengan apa yang akan terjadi jika dia mulai memakai jilbab, bagaimana orang-orang yang dia temui setiap hari akan memperlakukan dirinya. Mulai tanggal 15 Oktober sampai 22 November, dia melakukan pencarian jawabannya.
Jumlah kenalan yang pura-pura tidak melihat dirinya ketika mereka berpapasan di kampus mengejutkan. Jumlah tatapan dingin dan lirikan gugup yang diterimanya bahkan lebih besar. Sebagai pemandu tur di kantor penerimaan mahasiswa, reaksi dari salah satu peserta tur sudah cukup untuk membuatnya ingin menyerah dalam tiga hari pertama proyek.
Tapi dia tetap bertahan. Proyek itu sepadan dengan semuanya: waktu ekstra yang dibutuhkan untuk memakai jilbab sebelum kuliah, pertengkaran dengan keluarga, dan rasa sakit dari cemoohan anti-Islam yang diterimanya. Dia belajar banyak dari yang diharapkannya dalam waktu satu bulan.
Pertama, dia belajar bahwa Geneseo adalah kampus yang sangat toleran, setidaknya di permukaan. Kedua, dia sekarang tahu bahwa dia memiliki teman-teman sejati yang mendukung keputusannya. Dan ketiga, dia belajar bahwa dengan menutup rambut dia bisa mengalihkan fokusnya dari dunia sekitar ke dunia yang ada di dalam dirinya. "Ketika aku mulai memakai jilbab, aku tidak merasa tertindas samasekali, tapi malah terbebas dari tekanan ekspektasi di sekitarku. Dengan menutup rambut, aku benar-benar merasa lebih bebas."
Mengenakan jilbab selama satu bulan, bisa dikatakan itu adalah pengalaman mencerahkan baginya dalam banyak cara. (rin/tl) www.suaramedia.com